Memasuki akhir bulan suci kita mengenang keluhuran watak politik-keagamaan NU dan Muhammadiyah. Dua organosasi sosial keagamaan ini telah mewujdkan tatanan politik sehari-hari yang membawa suasana damai yang indah nan elegant.
Atau dengan kata lain, kekuatan gabungan antara NU dan Muhammadiyah tidak hanya mendamaikan atau hanya sekedar usaha mengayemkan, akan tetapi secara nyata telah membuat adem yang senyatanya. Seperti yang kita tahu, bahwa ini zaman dimana ketika cara kita beragama dimana-mana diwarnai dengan pengaruh sikap kekerasan.
Agama yang dahulu dan arusnya memuja dan memuji dan yang lembut penuh kedamaian, kini suadah berubah menjadi ancaman. Dari hati dan tutur yang berdzikir kepada Allah, muncul pula cacian dan kedengkian didalamnya. Perbedaan sekecil apa, cukup menjadi alasan bagi timbulnya kekerasan. Dan itu pun kita akui bahwa hal tersebut datang dari lingkungan kita, kalangan orang-orang yang seagama.
Seperti halnya NU dan Muhammadiyah, kurang lebih seabad ini kedua organisasi tersebut didalamnya mengandung berbagai ketegangan doktrinal yang terkadang menimbulkan ketegangan atau konflik. Persoalan kunut dan doa taklin pernah sangat lama menjadi perdebatan. Tetapi perdebatan ini tetap hanya berupa ketegangan.
Sejauh ini tidak ada kekerasan massa yang ricuh. NU tidak pernah menyerang Muhammadiyah, begitupula sebaliknya Muhammadiyah tidak perlu menentang NU. Ketegangan kecil tersebut hanya sebatas kepentingan politik yang panas yang sesekali menimbulkan percikan kemarahan. Tetapi kemarahan tersebut tak pernah menjadi ancaman kemanusiaan.
Digambarkan, di suatu taman surga, ada orang NU duduk dibawah pohon, kemudian ada seorang Muhammadiyah yang sedang berjalan, kemudian seorang NU yang melihatnya bertanya Mas, loh kalau tidak salah sampean itu dulunya adalah orang Muhammadiyah kan ? kenapa bisa masuk surga ?, kemudian si Muhammadiyah pun terheran saya inget sampean itu NU, kenapa sampeyan juga ada di surga ? jawab si Muhammadiyah tadi.
Dari situ nampak bahwa pada akhirnya NU ataupum Muhammadiyah itu bukan perkara penting. Yang terpenting itu apakah iman mereka memancarkan kecintaan terhadap Allah dan Rasul dan juga cinta terhadap kemanusiaan ataupun tidak.
Menjadi NU atau Muhammadiyah itu adalah hanyalah panggilan keduniaan dan pilihan ideologi keagamaan untuk mengatur hidup. Kembali menjelang idul fitri biasanya ketegangan NU dan Muhammadiyah sering kali muncul. Terkadang NU dan Pemerintah berlebaran terlebih dahulu, dan Muhammadiyah hari berikutnya, ataupun sebaliknya. Tetapi kedua pihak tak pernah melarangnya. Ketia bertemu dijalan mereka bukan saling batu hantam , melainkan saling bersalaman dan maaf memaafkan.
Ini bukan perkara salah atau benar yang akan berujung pertengkaran. Orang fasih berbicara bahwa perbedaan itu berkah. Islam itu ramah dan damai. Tetapi terkadang tindakannya lain, beda sedikit marah dan kemarahan tersebut kadang membawa kericuhan.
Hari-hari menjelang Idul Fitri. Terkadang kita belum tahu NU ataupun Muhammadiyah yang akan berlebaran terlebih dahulu. Persoalaan itu tidak terlalu penting, NU tak mempersoalkan dan Muhammadiyah menerimanya sebagai rutinitas kehidupan kedua organisasi tersebut. Beda ya beda, tidak pernah menjadi persoalan yang serius.
NU dan Muhammadiyah sudah terlatih menghadapinya, mereka telah menganggap perbedaan menjadi suatu berkah.
( Oleh : Irma Munafidah )
Sumber : buku Mark Hanusz dan Pramoedya Ananta Toer karya Mohamad Sobary
Add Comment