Pondok Pesantren Al-Fattah Kartasura, Sukoharjo
Pesantren menjadi salah satu bagian penting dari suatu pendidikan nasional yang telah ikut serta dalam mencerdaskan kehidupan generasi bangsa dan saksi sejarah pembangunan Indonesia yang merdeka (Hartono, 2006). Sejak era sebelum kemerdekaan para ulama dan santri turut melawan penjajah dan menyusun strategi perlawanan untuk mewujudkan kemerdekaan. Dengan prinsip utama yang selalu di pegang teguh adalah Hubbul Waton Minal Iman, walaupun harus berkorban baik raga bahkan nyawa, itu tidaklah menjadi hal penting. Semangat nasionalisme para kaum ulama tersebut harus dijaga para santri di zaman milenial ini dengan pertumbuhan ilmu pegetahuan dan teknologi secara pesat sebagai cerminan untuk tetap menjaga kebinekaan. Hal itulah yang akan menumpas pemikiran-pemikiran radikal para santri untuk mencegah pertumbuhan ideologi yang bertentangan dengan pancasila di kalangan masyarakat.
Sejatinya pesantren adalah sebagai tempat untuk mengembangkan kepribadian dan memupuk kerohanian secara mendalam. Kepribadian sejatinya menyangkut kualitas pribadi seseorang yang berupa jasmani, rohani, dan susila yang membedakan dengan orang lain. Dalam konteks kepribadian islam dapat diketahui bahwasanya wujud pribadi muslim itu adalah manusia yang mengabdikan dirinya kepada Allah, tunduk, dan ikhlas dalam amal perbuatanya karena iman kepada Allah SWT (Mukholiq, 2013).
Ilmu dapat diperoleh di mana saja, dari siapa saja, dan tidak memperdulikan umur para pegiatnya. Ilmu akan semakin bertambah dan akan selalu berkembang mana kala setiap orang siap untuk menderita dan bersusah payah untuk mendapatkannya. Usia bukanlah penghalang untuk terus menempuh jenjang pendidikan karena jika otak selalu diasah wawasan akan semakin meluas. Ilmu tidak hanya didapat dari pendidikan formal yang ada di lembaga-lembaga sekolah tetapi juga pengetahuan yang didapatkan dari perjalanan hidupnya dilingkungan sosial dalam perspekstif keagamaan di pesantren. Pendidikan yang didapatkan dari lingkungan pesantren ini dapat membentuk kepribadian, sikap, dan mental seseorang secara alami dan dapat menunjukan jati diri aslinya.
Peranan santri dalam tatanan kehidupan itu sangat dibutuhkan sebagai agen perubahan di lingkungan masyarakat untuk mendakwahkan ilmu yang di peroleh selama di pesantren. Tujuan dakwah dari santri itu sebagai salah satu Jihad Fi Sabilillah memerangi kebodohan masyarakat atas dasar ketidaktahuan. Karena sejatinya segala hal yang tidak diketahui tentu saja bisa dipahami dari pembelajaran pribadi maunpun saling berdiskusi.
Perkembangan ilmu dan teknologi tanpa filtrasi telah membawa dampak buruk bagi perkembangan sosial masyarakat. Banyaknya berita Hoax yang mudah menyebar begitu cepat, serta ajaran-ajaran daring secara praktis dan di telan secara mentah-mentah tanpa ada pendalaman materi akan menimbulkan orientasi pemikiran radikal yang bertentangan dengan pancasila. Tentu hal tersebut menjadi tantangan besar bagi para santri untuk masuk di dalamnya sebagai penengah maunpun pencerah.
Dakwah-dakwah serta ajakan sesat dari oknum-oknum yang tidak bertanggung jawab, telah berhasil menyeret masyarakat kita menjadi bibit-bibit teroris. Lalu, apa hal yang harus dilakukan para santri untuk membantu menyadarkan pemikiran masyarakat yang radikal? Akankah masyarakat bisa bersatu dengan santri? Untuk menjawab pertanyaan tersebut tentu dapat diketahui bahwa salah satu prinsipnya yaitu, Hubbul Waton Minal Iman. Jadi segala hal yang berpotensi menghancurkan negara kesatuan republik Indonesia akan di lawan dan di binasakan. Kehidupan santri di pesantren adalah cerminan kehidupan sosial di mayarakat dimulai dari ketaqwaan, ketertiban, gotong royong, dan kesederhanaan tidaklah jauh dari latar belakang rakyat Indonesia. Hal tersebut yang menjadi modal utama santri untuk hidup bersama masyarakat, dan membangun kemasyarakatan yang beradab.
Kontribusi nyata para santri saat kembali di tengah-tengah masyarakat yaitu antara lain: pengajaran TPA kepada anak-anak kecil untuk memperkenalkan dan membentengi keimanan sejak usia dini untuk meningkatkan spiritual kerohanian anak, pembentukkan majelis-majelis dakwah untuk mengisi kajian tentang keagamaan kepada masyarakat umum untuk senantiasa berpikiran positif dengan sering melantunkan ayat-ayat suci Al-Quran, dan adanya pendidikan madrasah ibtidaiyah sebagai sarana pembelajaran santri setelah usai dari pembelajaran di sekolah formal. Hal-hal sederhana tersebut mampu memberi kontribusi besar untuk menangkal benih-benih pertumbuhan pemikiran radikal di masyarakat. Pondasi iman yang kuat dan pemikiran yang moderat tidak akan mudah hancur hanya karena hasutan dan godaan dari sumber yang tidak bisa dipertanggungjawabkan.
Hakikat dari keutuhan suatu negara adalah perdamaian dan persatuan sumber daya manusia dari segala kalangan baik berupa agama, ras, suku, dan bahasa (Latif, 2015). Menjunjung tinggi toleransi dan rasa nasionalisme akan menyadarkan kita bahwa kehidupan di negara Indonesia ini tidak akan ada kerukunan tanpa adanya perbedaan. Semua di kemas dalam semboyan negara kita yaitu Bhineka Tunggal Ika, berbeda-beda tetap harus jadi satu. Karna kemerdekaan Indonesia bukan hanya diwujudkan oleh satu kelompok tapi juga diperoleh dari kerja sama seluruh rakyat Indonesia dengan segala perbedaannya. Maka sudah menjadi tanggung jawab kita semua untuk menjaga keutuhan dan persatuan negara Indonesia agar terhindar dari perpecahan dan mudah di adu domba oleh kelompok-kelompok dengan kepentingan pribadi.
Di era milenial ini, generasi Z adalah pemegang tongkat estafet kepemimpinan bangsa Indonesia. Hal itulah yang menjadi pendorong untuk menanamkan pada jiwa dan identitas setiap generasi muda memiliki semangat patriotisme dan nasionalisme. Bilanya ada kerusakan atau kegaduhan yang mengatas namakan Jihad Fi Sabilillah tentu itu bukan prinsip dasar keislaman karena agama islam merupakan agama Rahmatan Lil Alamin yang mencintai dan menghargai segala ciptaan Allah SWT. Melalui pendidikan pondok pesantren dan relasi dengan jaringan yang luas santri dapat memainkan pengarus yang besar untuk membina dan membangun negeri ini berakhlak mulia seperti halnya cerminan pancasila yang pertama dan ketiga untuk mengemban cita-cita luhur bangsa Indonesia yang adil dan beradab.
Oleh: Septi Wulan Sari
DAFTAR PUSTAKA
Hartono. (2006). Kepatuhan dan Kemandirian Santri (Sebuah Analisis Psikologis). Jurnal Studi Islam Dan Budaya, 4(1), 1–12.
Latif, Y. (2015). Negara Paripurna Historis, Rasionalis, dan Aktualitas (Cetakan V). Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.
Mukholiq. (2013). Kepribadian Manusia dalam Islam. Episteme, 8(2).
Add Comment