Pesantren merupakan wahana menempa diri yang di dalamnya terdapat berbagai macam dinamika pelatihan kehidupan yang sangat beragam. Pesantren juga dapat diartikan sebagai tempat belajar mengaji dan belajar menjadi manusia yang berakhlak baik. Kedudukan pesantren sebagai sebuah lembaga pendidikan Islam tidak akan pernah terlepas dengan kehadiran santri di dalamnya. Kata santri menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) ialah orang yang mendalami agama Islam. Atas dasar itu, terjadi korelasi langsung antara pesantren dan santri. Pesantren sebagai tempat, dan santri sebagai penghuni tempat tersebut. Dahulu, Santri memang sangat identik sebagai kaum bersarung dan berpeci yang menjadi ciri khas seorang santri dimana pun. Namun dalam konsep pandangan islam yang modern, identitas santri tidaklah selalu bersarung maupun berpeci, melainkan identitas yang sesungguhnya adalah santri yang dapat membangun pola pikir visioner dalam membangun budi pekerti yang baik, melek pengetahuan umum, paham teknologi informasi, serta mencintai agama dan negaranya.
Pesantren memiliki sejarah panjang sejak masa penjajahan hingga detik ini. Peranan santri pada zaman penjajahan Belanda tidak hanya sekedar duduk-duduk manis berdoa agar Indonesia diberi kemerdekaan dan lepas dari penjajahan. Tetapi santri ikut serta dalam melawan segala bentuk penjajahan dan penindasan terhadap Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Salah satu bukti perlawanan santri terhadap penjajahan adalah meletusnya pertempuran 10 November 1945 saat agresi militer Belanda pertama di Surabaya. Resolusi jihad yang difatwakan oleh KH. Hasyim Asy’ari mampu membakar semangat juang para santri yang berperang. Ditambah dengan pekikan takbir dari Bung Tomo dalam akhir orasinya yang disiarkan langsung dari jaringan radio. Memang seakan menegaskan bahwa rakyat Indonesia pada khususnya santri pada saat itu tidak pernah main-main dalam mempertahankan kedaulatan Indonesia. Hingga pada akhirnya setiap tahun pada tanggal 10 November selalu diperingati Hari Pahlawan Nasional.
Semangat kebangsaan dan rasa memiliki terhadap negara yang melandasi tercetusnya slogan “cinta tanah air sebagian dari iman”, merupakan upaya untuk merawat negara, dan menumbuhkan rasa nasionalisme kebangsaan yang tinggi. Semua semata-mata agar Republik Indonesia mampu menggapai tujuannya sebagaimana yang termaktub dalam alinea ke 4 pembukaan Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 yang berbunyi “…..untuk melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial”.
Santri Sebagai Pemersatu Bangsa
Membahas persoalan santri dan pesantren sampai kapan pun tidak akan pernah ada habisnya. Karena persoalan tentang santri adalah persoalan yang sangat menarik. Yang lebih menarik, jumlah total keseluruhan santri di Indonesia mungkin saja tak terhitung jumlahnya, begitu pun dengan peran yang di berikannya terhadap Negara memang sudah tidak perlu ditanya lagi.
Kata peran atau peranan dalam KBBI memiliki makna yang berarti Perangkat tingkah yang diharapkan dimiliki oleh orang yang berkedudukandalammasyarakat.Garis besarnya ialahtindakan yang dilakukan oleh seseorang dalam suatu peristiwa. Visi seorang santri pada dasarnya memang memiliki peranan yang baik dalam masyarakat bangsa maupun agamanya. Atas dasar hal itu, perjuangan santri dalam era masa kini adalah dengan berdakwah. Tidak hanya berdakwah secara menyeru, namun dengan cara berdakwah yang konteksnya lebih luas lagi dan lebih elegan bila dilakukan. Inilah sebenarnya peranan santri dalam konteks masa kini yang tentu berbeda dengan masa lalu. Yaitu memposisikan santri sebagai pemersatu dan perekat bangsa untuk keutuhan negara.
Sifat nasionalisme santri wajib dihadirkan untuk menunjang usaha-usaha untuk mencapai tujuan tersebut. Selain mengembangkan sifat nasionalisme, hal yang paling utama ialah memperbaiki kualitas mutu pendidikan Agama dan pendidikan umum dalam pesantren. Dalam buku Pendidikan Kreatif Membangun Perilaku Positif Anak Bangsa (2011), Zainal Aqib mengatakan bahwa “proses pembelajaran umum yang marak diaplikasikan di pesantren dikatakan bermutu tinggi apabila pengoordinasian dan penyerasian serta pemanduan input dilakukan secara harmonis, sehingga menciptakan situasi belajar yang menyenangkan, memotivasi dan benar-benar berhasil untuk memberdayakan peserta didik atau santri”. Keseluruhnya hendaknya diberikan sesuai dengan psikologi santri, agar siap untuk terjun ke masyarakat. Penyesuaian dalam hal ini didasari atas penyadaran bahwa bangsa Indonesia adalah bangsa yang majemuk. Akan tetapi, secara artistik dapat bersatu padu dalam satu komunitas kebangsaan yang bernama Indonesia yang senantiasa harus dicinta dan dijaga keberlangsungannya. Dengan begitu, santri akan mereflesikan dirinya sebagai agent of unity yang artinya agen persatuan dalam menjaga kebhinekaan negaranya.
Jihad Santri Dalam Membangun Negara
Jihad menurut Imam Syafi’i dalam kitab al-iqnaa didefinisikan sebagai berperang di jalan Allah. Pengertian tersebut sangat relevan dengan jihadnya para santri ketika mengusir Belanda dalam peperangan 10 November 1945 di Surabaya. Mempertahan kandiri, mempertahankan haknya, adalah salah satu bagian dari jihad. Namun tendensi makna berjihad pada saat ini telah berubah. Bukan soal melulu tentang berperang melainkan lebih dari sekedar peperangan.
Jihad yang paling berat adalah jihad terhadap pengetahuan. Santri ditempa di lingkungan pesantren untuk memperoleh bekal pengetahuan dan spiritual yang baik. Pengetahuan umum dan agama wajib dimiliki seorang santri agar bisa menjadi fondasi penguat karakter beragama. Untuk itu dibutuhkan ilmu yang benar, agar selain bisa menguatkan karakter beragama juga dapat menjadi tolak ukur kesiapan dalam mengabdikan dirinya untuk negeri. Selain itu, santri pun dihadapkan dengan jihad sosial. Gerakan jihad sosial harus bersifat nyata. Seperti penggalangan dana, perbaikan ekonomi masyarakat dan lain sebagainya.
Toleransi Santri Dalam Bermasyarakat
Peranan santri dan pesantren dalam upaya merawat keberagaman memang sangat dibutuhkan. Akhir-akhir ini marak terjadi perselisihan antar golongan dan masyarakat. Dan itu merupakan perilaku negatif yang memilukan. Sikap keberagaman yang selalu terlewatkan adalah sikap pluralis. Pluralis lebih dari sekedar tasamuh atau toleransi. Pluralis merawat keberagaman tersebut. Dalam buku dasar-dasar pendidikan pancasila dan pendidikan kewarganegaraan (2015) disebutkan bahwa “penghayatan dan pengamalan pancasila merupakan satu-satunya falsafah serta ideologi bangsa yang bersifat terbuka dan terus diperkokoh”. Oleh karena itu, keberagaman harus benar-benar terjaga agar semboyan Indonesia Bhineka Tunggal Ika benar-benar diaplikasikan dalam kehidupan nyata.
Dalam upaya santri sebagai agent of unity yang menjaga persatuan, tidak cukup rasanya jika hanya mengandalkan sikap toleransi semata, melainkan perlu dimasukkan sikap pluralis dalam berbangsa dan bernegara. Di samping lebih konsisten, sikap pluralis menyadari bahwa menghormati perbedaan adalah hal yang sangat penting. Justru sikap berbau fanatik yang selama ini menimbulkan gejolak perselisihan dan meresahkan yang sulit untuk dikendalikan. Lebih parahnya lagi, sebagian bahkan memusuhi sikap pluralis. Sangat memprihantinkan bila pada akhirnya berakhir dengan kegaduhan sosial.
Kesimpulannya, Indonesia sebagai negara dengan berbagai macam kebudayaan, adat, suku, dan agama tentunya harus menciptakan iklim yang kondusif serta selayaknya menjaga persatuan dan kesatuan. Santri yang memiliki sejarah panjang dalam mengusir penjajah harus mampu berperan menjadi agen perdamaian dan persatuan agar tidak ada perpecahan akibat sikap intoleran. Sikap pluralis harus ditanamkan terhadap diri masing-masing santri, agar negeri yang kita cintai ini terhindar dari jeratan konflik di kemudian hari. Terakhir ada sedikit kutipan yang pernah KH. Abdurrahman Wahid atau Gusdur katakan ketika masih menjabat sebagai Presiden Republik Indonesia: “Sebenarnya bangsa kita merdeka itu tanpa kekerasan. Walaupun untuk mempertahankan kemerdekaan itu dengan kekerasan, karena diserang. Adanya proklamasi itu tanpa kekerasan. Kecuali Kapten Latief yang membawa pistol, yang lainnya biasa-biasa saja.”
Karya: Iqbal Syahrul Akbar Al Aziz
Add Comment