Tulisan ini saya mulai, ada baiknya buat kopi biar suasananya nggak terlalu manis-manis amat.
Jadi begini, John.
Menggali apa sebenernya cita-cita santri ada patutnya jika diawali apa maksud santri itu sendiri. Dalam kutipan buku Tradisi Pesantren milik Zamakhsari Dhofier disebutkan bahwa CC. Berg berpendapat santri berasal dari kata Shastri atau cantrik. Kata itu berasal dari bahasa sansekerta yang artinya orang yang mengerti kitab suci. Beliau juga menambahkan bahwa tempat hidupnya santri itu asal katanya ‘funduq’ yaitu resapan dari bahasa Arab yang artinya Asrama/tempat tinggal. Kemudian kata funduq mengalami degradasi vocal sehingga kita sering menyebutnya dengan istilah pondok. Itu baru dari satu refrensi, John… kalau Anda punya pendapat yang berbeda yaa wajarlah, namanya juga pemikiran.
Sruput kopi dulu, John..
Sejarah santri sendiri tak banyak dikupas oleh para literator maupun sejarawan dan budayawan. Mereka hanya menyebutkan secara umum sejarah penyebutan santri. Misalnya dalam buku Mujamil Qomar yang berjudul -Pesantren: Dari Transformasi Metodologi Menuju Demokratisasi Institusi- pada halaman 87 menjelaskan bahwa santri merupakan sebutan masyarakat yang mengikuti pengajian di surau atau langgar .
Peran hebat para Ulama’ terdahulu berpengaruh pada karakteristik kuat sehingga membentuk interkarakter santri menjadi lebih kuat dan khusus. Itu terlihat dari cara para Ulama’ memadukan antara julukan identitas daerah seorang yang belajar agama dengan urgensi isi ajaran agama sendiri. Sehingga julukan yang lahir bukan tilmidhun, muridun, tholibun yang dhohirnya lebih kearab-araban. Justru yang berlaku kala itu adalah “Santri”. Begitulah cerdasnya para Ulama’ dahulu menggunakan istilah bahasa pribumi untuk menarik ketertarikan masyarakat pada Islam. Ajarannya sangat halus sehingga masyarakat tak punya tekanan dalam memilih masuk Islam. Sehingga apa yang mereka pelajari seolah meneruskan ajaran nenek moyangnya hanya saja oleh para Waliyullah di-syar’ikan supaya sesuai dengan tuntutan Agama Islam. Dari sini kita sepakat? Oke, anggap sepakat saja.
Sejak awal Islam tersebar di Indonesia merupakan capaian yang luar biasa oleh orang muslim timur tengah. Yang menarik dari sini adalah golongan muslim yang pertama kali mengajarkan Islam. Dalam buku A History of Islamic Societies disebutkan bahwa golongan muslim yang pertama kali menyebarkan Islam di nusantara ialah para pedagang yang latar belakangnya para ahli sufi bukan para Fuqoha’. Demikian ini tentu menjadi pembeda antara muslim timur tengah, dan muslim Asia Tenggara.
Masih belum nyantol kaitannya apa ?
Jika para Sufi merupakan peletak pertama cikal bakal ajaran Islam di Nusantara dari pada para Fuqoha’, maka yang lebih mendominasi karakternya adalah nilai estetika perilaku daripada Ilmu fiqh yang cenderung posesif sama seperti kondisi keilmuan timur tengah pada masa itu. Apalagi lahirnya para Fuqoha’ di Syiria , Iraq, Sudan maupun Maroko. Yaa meskipun demikian kita juga tak bisa memungkiri bahwa Indonesia juga punya segudang Ulama’, Fuqoha’, Muhaddist, Sufi dsb. Misalnya kitab NashoiulIbad karyaSyeh Nawawi Albantani, lalu siapa yang tau salah satu kitab babon tasawuf karya hujjatul Islam yaitu Al imam Al-Ghozali yaitu kitab Minhaju At-Tholibien mempunyai satu-satunya kitab yang men-syarahinya yaitu kitab Siroju At-Tholibien karyaSyeh Ihsan Jampes (Kediri Jawa Timur). Salah satu karya literatur anak bangsa yang sampai sekarang terus dikaji oleh mahasiswa timur tengah utamanya, bahkan menjadi salah satu rujukan utama mahasiswa Pascasarjana di Universitas Al-Ashar Kairo. Belum lagi dari segi ilmu alat ada kitab Amsilah Tashfrifiyah yang membahas bentuk kata misalnya, Fa’ala-Yaf’ulu-Fa’lan ,kaffaro-yakfuru-kufron, ups …. Contoh yang kedua itu abaikan saja, John. Itu tashrifan produk ustadz politik yang kurang mutholaah. Kitab tersebut merupakan karya Syeh Maksum Bin Ali dari Jombang Jatim. Dan masih banyak lagi.
Dari sekian banyak karya-karya literatur Ulama’ Indonesia tidak ada satupun yang membahas tentang paham akidah. Namun karya fiqh, tasawuf, ilmu alat, muhaddist sangat banyak kita jumpai. Pertanyaan simpelku kenapa kitab-kitab yang membahas akidah tidak dikarang di Indonesia ?
Menurut hematku ada beberapa kemungkinan yang terjadi saat itu. Pertama, tidak ada golongan ahli akidah yang dikirim khusus dari Timur Tengah untuk ikut menyebarluaskan Islam di Indonesia. Kedua, ajaran akidah secara spesifik diajarkan di Indonesia tapi para Ulama’ atau bahkan Walisongo sudah sepakat dan final tentang ketentuan ajaran Akidah dasar yang diajarkan tidak terlalu spesifik dan mendalam. Kemungkinan yang kedua ini saya kira lebih masuk akal dengan dibuktikan munculnya Ulama’ ahli akidah yang sangat terkenal yaitu Syeh Siti Jenar.
Jika kemungkinan yang kedua ini lebih bisa diterima, Maka himmah berislam di Indonesia adalah Islam yang santun, berilmu, dan yanfa’ulinnas. Berislam yang santun kepada sesama umat islam, mempunyai ilmu dalam ubudiyah dan bermanfaat bagi manusia secara keseluruhan baik itu kepada orang hitam/putih, tua/muda, muslim/ghoirumuslim.
Santri memiliki peran penting dalam dalam persebaran Islam sampai sekarang. Mereka menjadi obyek perluasan ilmu para Ulama’ terdahulu. Ajaran mereka runtut dengan sanad/silsilah ilmu yang lengkap. Kepada siapa mereka belajar, apa kitab yang mereka kaji, dari mana asalnya kitab tersebut dan siapa pengarang kitabnya. Sebegitu detailnya para Kyai memilihkan kitab-kitab untuk santrinya hanya agar keilmuan santrinya tidak keluar dari koridor keilmuan Ulama’ awal penyebar Islam di Indonesia.
Jika pertanyaan awal dihadirkan lagi, apa cita-cita santri untuk negeri? Maka saya dengan halus menjawab bahwa santri tidak mempunyai cita-cita khusus untuk negeri. Hanya saja santri memiliki kewajiban yang tidak boleh sekalipun mengingkari dan harus meneruskan cita-cita para ulama’nya. Bermanfaat untuk semua manusia.
Kemudian pada tahun 1916 pada waktu Indonesia mengalami penjajahan yang luarbiasa lama ditambah lagi cita-cita bangsa yang ingin merdeka, Kyai Wahab Hasbulloh (salah satu pendiri NU) mengumandangkan Hubbul Wathon Minal Iman yaitu Cinta Tanah Air adalah sebagian dari iman, maka mulai saat itu kewajiban santri mempertaruhkan jiwa dan raganya untuk mengabdikan kepada Negeri.
Jika dahulu wujud manifestasi dari santri ikut berperang di garda terdepan melawan penjajah, sekarang kita sebagai santri hanya tinggal mempertahankan hasil jerih payah senior, Ulama’ dan para Pahlawan. Coba kita berlapang pikir melihat ada golongan santri masuk ke gereja memberikan tumpeng, ada golongan santri ikut menjaga gereja, bahkan turut mengamankan masyarakat dari pengajian pengajian radikal yang tak punya sanad keilmuan yang jelas itu merupakan usaha santri untuk mempertahankan Negeri warisan para Gurunya.
Sebagai penutup, John, mari kita sama-sama mengumandangkan lagu Yahlal Wathon supaya tahu apa esensi cita-cita para santri untuk negerinya.
Yalal wathon 3x
Hubbul wathon minal iman
Wa la takun minal iman
Inhadlu ahla lwathon
Indonesia biladi , anta unwanul fakhoma
Kullu man yaktika yauma, thomihay yalqo himama
Pusaka hati wahai Tanah Airku
Cintamu dalam imanku, jangan halangkan nasibmu
Bangkitlah hai bangsaku
Indonesia negeriku, engkau panji martabatku
Siapa datang mengancammu kan binasa di bawah dulimu
Oleh: M. Riza Ainunna’im
Penulis merupakan santri mbeling asal Kediri
Pernah nyantri di Tambakberas Jombang, dan sekarang di PP. Al-Fattah Kartasura
Sumber:
- Zamakhsari Dhofier, Tradisi Pesantren (LP3ES: Jakarta)
- Mujamil Qomar, Pesantren dari Tranformasi Metodologi Menuju Demokrasi Institusi (Erlangga: Jakarta)
- Ira M. Lapudis, Sejarah Sosial Umat Islam (PT. Raja Grafindo Persada: Jakarta)
- Rachmad Abdullah, Tinta Emas Sejarah (Al-Wafi Publishing: Sukoharjo)
Add Comment