Oleh : Inarotul Layali
Nama gue Ina. Umur gue 21 tahun. Sudah hampir enam tahun gue pulang pergi merantau untuk mengisi otak gue yang pas-pasan. Tiga tahun terakhir ini gue menetap di pondok pesantren dan keseharian gue cuma kuliah. Satu tahun sekali setiap lebaran gue pasti pulang kampung kumpul bersama keluarga. Bahkan setiap bulan ramadhan biasanya full gue memilih menetap dan menjalankan ibadah puasa di perantauan. Tapi baru kali ini gue merasakan tahun yang amat berbeda. Sungguh mengejutkan. Siapa sangka dunia ini seketika diteror oleh wabah yang tak punya belas kasih itu. Sampai manusia di seluruh dunia disarankan untuk dirumah saja. Ketika itu wabah virus Corona semakin merajalela, pemerintah pun siap melockdown berbagai daerah yang sudah nampak adanya orang yang terjangkit wabah itu.
Tepatnya seperti di Surakarta tempat gue merantau selama tiga tahun terakhir ini, di kota ini ternyata sudah terlihat sekitar tiga orang terjangkit virus Corona yang sedang diisolasi di rumah sakit. Wahhh ini kabar duka yang sangat menyedihkan. Akhirnya sebelum kota ini di lockdown gue terpaksa pulang kampung dengan membawa beban dan tanggung jawab di pundak. Mulai dari kuliah yang tetap harus berjalan online, tugas kuliah yang tidak ada kompensasi penundaan, bahkan kegiatan pondok yang harus tetap berjalan seperti setoran hafalan nahwu shorof dan lain-lain. Sulit banget rasanya gue tersenyum di perjalanan pulang kampung, tak seperti tahun kemarin gue tersenyum riang pulang kampung bersama teman-teman dengan tawa dan canda gak sabar untuk ketemu keluarga.
Tahun ini gue menjalankan ibadah puasa satu bulan penuh di rumah. Teman-teman gue yang diperantauan sudah tidak bisa pulang kampung karena kota mereka sudah di lockdown. Ahhhh rasanya sepi sekali gak ada teman sebaya di rumah. Rumah gue juga tepat di pegunungan hingga sinyalnya sulit sekali diajak kompromi, padahal sinyal itu harapan satu-satunya gue agar tetap bisa kuliah di rumah. Sebel deh gue dengan mbah sinyal ini. Setiap hari gue harus berjuang cari sinyal dibelakang rumah bahkan ditempat lapang. Ternyata memperjuangkan sinyal seperti halnya gue memperjuangkan cinta gue, hehe.
*
Satu minggu sudah gue menjalankan ibadah puasa di rumah. Tiba-tiba gue demam tinggi, tenggorokan sakit, pusing, diare. Sepertinya ini efek kejenuhan gue selama ini, pikiran gue
yang dipaksa berjalan keras di tengah keadaan yang kian menegangkan. Huhhh akhirnya gue di suruh orang tua untuk periksa ke rumah sakit takut terjangkit virus. Adik-adik gue juga malah nakut-nakutin gue. Ihh males banget gue kalau harus periksa, pasti di rumah sakit juga gue dikira terkena virus Corona.
Gue tetap teguh dengan pendirian gue, gue yakin kalo demam ini hanyalah demam biasa. Tapi sudah satu minggu lebih gue sakit gak sembuh-sembuh, akhirnya gue terpaksa periksa di kerumah sakit. Sampai di rumah sakit sepertinya gue yang paling sehat diantara mereka yang sedang menunggu giliran sama seperti gue.
Sebenarnya sih gue gak perlu nunggu lama walaupun datang terakhir, karena petugas yang bagian mendata giliran masuk untuk diperiksa dokter adalah kakak ipar gue sendiri, jadi gue pasti dikasih giliran yang paling awal hehe. Tiba-tiba kakak ipar gue bilang, “na, nanti kamu tunggu panggilan masuk diruang nomer 2 ya”. Kalau sudah ada pemberitahuan dari kakak ipar, gue harus siap-siap memilih tempat duduk yang dekat dengan ruang nomer 2 tersebut. Haduhhh parah banget, ternyata tidak ada tempat duduk yang longgar di dekat ruang itu. Terpaksa gue harus duduk agak jauh dari ruang yang ditunjuk kakak ipar gue. Tapi tidak masalah, sepertinya panggilan dokter dari dalam ruangan masih terdengar sampai tempat yang kini gue duduki. Sudah hampir 10 menit gue nunggu panggilan. Karena jenuh menunggu panggilan, gue membuka permainan di HP gue.
**
Nggak lama kemudian sepertinya gue mendengar ada panggilan. “Itu kayaknya nama gue yang di panggil deh, iya gak sihh !” ucap gue dengan ragu. Dari pada ragu gue langsung saja gue nekad masuk ke ruang nomer 2 itu. “assalamualikumm”, Gue bingung setelah memberi salam. Ini suara gue yang kurang keras apa telinga dokter itu yang kurang dengar?
Ternyata ada dua dokter di dalam ruangan itu, satu dokter masih muda dan satu lagi sudah tua. Nggak lama gue saling menatap dengan kedua dokter di dalam, tiba-tiba dokter tua itu bilang, “iya mbak, ada apa?”. Mendengar pertanyaan dokter tua itu gue berfikir keawal dan semakin bingung sebenarnya nama gue sudah dipanggil belum sihh. “Maaf, dokter tadi panggil nama saya kan !!” tanyaku. Tiba-tiba dokter muda itu menyambung percakapan gue dengan dokter tua itu. “Maaf mbak, nama mbak belum saya panggil, emangnya mbak sakit apa?”. Haiss malu banget gue denger pernyataan dokter muda itu kalau nama gue ternyata belum di panggil, konyol bangettt.. “saya hanya demam dok, yaudah dok maaf tadi saya salah dengar.” Yasudah deh emang waktunya gue harus menunggu di depan lagi. Setelah gue mau belok keluar, tiba-tiba dokter tua nanya, “emangnya mbak habis bepergian dari mana?”, gara-gara
gue grogi dan masih sangat merasa konyol akhirnya gue reflek jawab jujur pertanyaan dokter tua itu, “saya dari Surakarta dok.”. Aduhhh seketika gue keceplosan bilang kalau gue baru pulang dari Surakarta. “Doni, bawa mbak ini ke tempat pemeriksaan khusus !!” perintah dokter tua dengan tegas. Mendengar pinta dokter tua yang memerintahkan dokter muda untuk membawa gue ke tempat khusus, rasanya gue pengin sekali kabur dari ruangan itu. “iya pak” jawab dokter muda itu. Tiba-tiba tangan gue di pegang dan ditarik untuk diarahin ke tempat khusus itu. Seketika gue pengin emosi dengan dokter muda ini, “sabarr na, jangan emosi ini bulan puasa” Gemam gue dalam hati.
Seharusnya para dokter perlu melihat dulu dan memeriksanya sebelum membawa pasienya ke tempat khusus yang mungkin perlu di isolasi kembali. Seketika gue tersinggung banget dan bilang ke dokter muda itu, “maaf ya dok, saya emang dari Surakarta, tapi saya sudah hampir dua minggu lebih di rumah saja, jadi santai saja saya hanya demam biasa kok dokter Doni” ungkap gue dengan nada emosi. Ternyata gue baru sadar kalau kata-kata gue tadi kurang sopan dengan menyebut namanya. Tapi memang sih manusia tempatnya salah dan lupa hehe. Mendengar pernyataan gue itu, seketika kedua dokter itu terdiam dan melepaskan tangan gue, akhirnya sambil membawa kartu antrian yang dikasih kakak ipar gue, gue bergegas keluar ruangan tersebut.
Karena menahan emosi dan malu seketika sakit gue serasa sembuh sendiri, dan akhirnya sebelum nama gue dipanggil yang sesungguhnya, gue nekad cabut duluan dari rumah sakit dan gue sobek nomer antrian itu ditengah jalan. Akhirnya gue tidak jadi periksa, karena gue lebih memilih menjaga image gue di depan dokter tadi. Untung saja dua hari kemudian setelah gue datang ke rumah sakit walaupun tidak jadi periksa alkhamdulillah sakit gue sembuh total dan gue bisa beraktifitas seperti sedia kala. Sepertinya sakit yang gue derita selama kurang lebih dua minggu ini hanya karena mainset gue saja.
Sekitar dua hari setelah gue sembuh, gue disindir kakak ipar gue karena kabur dari antrian padahal sudah dikasih antrian paling awal. Hahaha nggak peduli gue sama omongan kakak ipar, yang penting gue selamat nggak ketemu dokter muda yang rese itu lagi. Tiba-tiba kakak ipar gue mengajak gue untuk berbuka puasa bersama dirumahnya. Rumah kakak ipar gue memang lumayan jauh dari rumah gue, beliau tinggal persis di belakang rumah sakit. Karena kakak gue dan kakak ipar gue sama-sama keseharianya kerja di rumah sakit itu.
***
Besoknya saya berbuka puasa di rumah kakak ipar gue. “na, tolong anterin makanan ini ke rumah sakit di ruangan pojok kanan samping pintu masuk yaa” perintah kakak ipar. “siap laksanakan”. Saya pun langsung bergegas memenuhi perintah kakak gue. Ternyata gue baru tahu kalau malam gini jalan pintas menuju rumah sakit sangat gelap dan sepi, merinding banget gue rasanya. Sambil membawa makanan gue lari sekencang mungkin saat melewati jalan itu. “pokoknya gue gak boleh takut, lariiiiiii…..”.
Sampai dirumah sakit gue langsung menuju tempat yang ditunjukin kakak gue. Akhirnya gue menemukan ruangan itu, sambil mengambil nafas dalam dalam gue langsung buka pintu ruangan itu. “Assalamualaikkum permisi dok”, saya lihat ada satu dokter yang sedang sibuk menulis data di dalam ruangan itu. “Wa’alaikumussalam iya silahkan masuk”. Jawab dokter sambil membalikan badan ke arah gue. Oh my god… kenapa sihh gue harus ketemu dokter rese ini lagi, mau ditaruh mana muka gue sekarang Tuhan.. “Loh mbak bukanya yang dulu salah masuk ruangan yaa” tanya dokter muda itu. Seketika gue gak bisa berkata-kata, diam membisu entah kenapa. “Maaf dok, saya hanya mau mengantarkan makanan ini dari kakak ipar saya”. Gue berusaha mengalihkan tema pembicaraan agar dokter itu berhenti membahas kejadian kala itu hmm. “Ohh jadi kamu adik iparnya mbak Maroh ya, bilangin terimakasih ya” ucap dokter muda itu.
Benar-benar nggak menyangka gue ternyata si dokter muda ini teman kakak ipar gue. Tanpa basa basi lagi gue langsung keluar ruangan itu. Setalah kembali kerumah kakak ipar, gue menceritakan semuanya ke kakak ipar gue yang sedang duduk disamping kakak gue tentang dokter rese itu. Ahh bukanya membela gue, kakak ipar gue malah meledek dan membela dokter muda itu. “Dokter Doni itu orangnya sangat baik, dia punya sopan santun yang tinggi, padahal kalau tidak salah dia umurnya beda satu tahun lebih tua dari kamu” ungkap kakak ipar.
Tiba-tiba kakak ipar gue membanding-bandingkan gue dengan dokter itu, siapa yang nggak sebel coba. “Cara berfikir kamu itu perlu dibenahi kembali, jangan seperti anak kecil, dalam keadaan seperti ini wajar jika para dokter bersikap was was terhadap pasienya, karena diluar sana sudah banyak dokter-doker meninggal karena tertular pasien yang terjangkit Corona”, sambung kakak gue. Tanpa satu patah kata pun gue diam mendengarkan ungkapan kakak dan kakak ipar gue. Gue renungin kembali kata-kata yang terlontar dari kakak gue baru saja bahwa gue harus merubah cara berfikir lebih dewasa lagi.
****
Tak terasa waktu semakin malam, gue harus pulang kerumah. “kak, aku mau pulang nih udah malam aku mau terawih”, pinta gue. Tiba-tiba kakak gue kebingungan mau mengantar gue pulang pake apa, karena kakak gue baru ingat kalau motornya baru saja mogok tadi sore. Kebetulan tiba-tiba dokter muda itu lewat depan rumah kakak gue dan kakak gue langsung memberhentikanya. “Doni, sini don bentar”, panggil kakak gue. “Iya mas ada apa?”, jawabnya sambil mendekat.
Waduhh firasat gue sudah nggak enak nih, kenapa juga kakak gue memanggil dokter muda itu. “Don, ini adik saya mau pulang tapi motor saya mogok, kebetulan rumah kamu kan lewat depan rumah adik saya, jadi saya minta tolong nitip adik saya ya”, pinta kakak gue. Tuhh kan bener, gue dititipin sama dokter ini, ahhh nyebelin banget kakak gue nihh. Tapi mau gak mau gue harus nurut kakak gue karena takut pulang kemaleman.
Ditengah perjalan pulang, dokter ini cerita sana sini berusaha ngelawak tapi gak lucu hahaha. Gue dengerin aja cerita dokter ini dan gue jawab sesingkat mungkin. Perjalanan sampai rumah gue masih sekitar 15 menit lagi, namun seketika hujan mengguyur kami berdua. Memang lagi-lagi hujan datang tak mengenal waktu. “Aduhh sakit banget rasanya muka gue ditamparin ratusan rintikan hujan, enak banget dokter ini pake helm”, batinku.
Tiba-tiba motor dokter ini berhenti. Sepertinya motor dokter ini mogok, “dok, ada apa ini, mogok yaa? Kenapa sih mogoknya di jalan yang sepi gini” tanya gue sambil mengusap muka yang penuh dengan air hujan. “Ini jaket pake biar gak terlalu dingin”, ucap dokter sambil mengulurkan tanganya. Malu banget gue udah terlanjur nyerocos ke dia, ternyata dokter ini sengaja memberhentikan motornya untuk melepas jaket yang dikenainya.
Terpaksa gue pakai jaket dari dokter ini, karena memang daerah sini kalau malam suhunya mencapai 14 derajat celsius, apalagi jika dibarengi hujan gini huuuhhh dingin banget. Setelah gue pakai jaket itu, kami melanjutkan perjalanan. Hujan tak henti-hentinya menampar muka gue. “Mbak, mukanya ngumpet dipunggung saya saja, biar tidak sakit terkena air hujan” pinta dokter. Gue terdiam bingung harus jawab apa, akhirnya gue pun sedikit menundukan muka gue di belakang dokter untuk mengurangi rasa sakit seperti tusukan jarum ini.
Ternyata gue baru sadar kalau dokter muda ini baik dan tidak rese. Bener apa kata kakak gue ternyata pikiran negatif gue yang perlu dihilangkan dan harus selalu berfikir positif ditengah pandemi ini, karena kekebalan tubuh kita salah satu akumulasi dari apa yang kita pikirkan. Apalagi ini adalah bulan ramadhan yang penuh berkah segala ucapan dan perbuatan bahkan pikiran perlu kita benahi kembali agar lebih baik. Setelah kejadian ini, gue baru sadar ternyata dipertemukanya kita dengan orang-orang yang tidak kita inginkan adalah salah satu cara Tuhan sekedar memperkenalkan kita dengan kata maaf dan memaafkan.
*****
Keren! Endingnya gimana??
hhehehe…nantikan tulisan selanjutnya nggeh.
Mantaapp
terima kasih kakak