Hikmah

Berhati-Hati dengan Talbis Setan

hidayatullah.com

Banyak istilah dan pemaknaan hakikat cinta dari sastrawan Barat dan Timur, seperti halnya Jalaluddin Rumi yang memberikan diskripsi “apa yang dikatakan dan diungkapkan tentang  cinta hanya covernya saja”. Sebagai mahluk yang beragama cinta diyakini sebagai pemberian dari Tuhan. Dia juga telah memberikan rambu-rambu bagi ummaNya untuk saling mencintai dan mengasihi, sebagaimana dalam firmanNya:

“Dan di antara tanda-tanda kekuasaanNya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikanNya di antaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berpikir.” (QS. Ar-Rum: 21)

Hakikatnya cinta itu fitrah dari Tuhan, namun cinta itu bisa menjadi keji ketika sang pemilik rasa cinta melontarkan tanpa panutan syar’i, Namun sering kita mengatasnamakan cinta hanya untuk kepuasan nafsu birahi, menggunakan dalil cinta itu fitrah. Sejatinya ketika cinta itu fitrah maka harus dijaga di jalan yang fitrah pula.

Tuhan juga memberikan aturan bagaimana ummatnya memberikan proporsi tentang cinta,

Dia mencintai mereka dan mereka mencintai Allah”( Q.s Al maidah:54)

Dan janganlah kau mendekati zina.”(QS Al-Isra: 32)

Dan segala sesuatu Kami ciptakan berpasang-pasangan supaya kamu mengingat kebesaran Allah.” (Q.S. Adz-Dzaariyat: 49)

Tentunya dari ini kita bisa mengambil pelajaran bagaiamana Tuhan memberikan rahmat bagi ummatNya, bersikap moderat terahadap rasa cinta merupakan salah satu jalan kebijaksanaan. Tidak menafikanya dan tidak pula mengagug-agungkannya secara berlebihan. Dalam poros kehidupan semua membutuhkan cinta baik dalam hubungan hamba dengan mahluk maupun hamba dengan Tuhan. Berlebihan dalam menyikapi cinta juga tidak dianjurkan, karena akan menyiksa psikologis yang dapat menimbulkan kegelisahan, sebagaimana penyair Arab mensenandungkan

عِندمّا نُحبْ تَرتبِط مشآعِرُنّا بِ [الخَوف] ، نَخافُ الفقدْ .. نَخافُ الفُرآق ؛ وَ نخافُ [النَصِيب] أكثَر

Ketika kita mencintai, perasaan kita akan merasakan ketakutan; takut kehilangan, takut perpisahan dan takut berbagi.

Dalam firman Allah juga dijelaskan bagaimana seorang yang kita cintai bisa menjadi fitnah

Sesungguhnya hartamu dan anak-anakmu hanyalah cobaan (bagimu), dan di sisi Allah lah pahala yang besar”. (QS. At Taghabun: 15)

Kita juga tak dapat memungkiri bahwa terminologi cinta juga direfleksikan secara berbeda-beda dari masa ke masa. Hal ini tergambar jelas dari literasi klasik seperti karya William Shakespear “Romeo dan Juliet”. Istilah baru yang muncul di abad terakhir adalah istilah “pacaran” yang dimaknai sebagai kedekatan hubungan antara lawan jenis yang diiringi oleh rasa suka sama suka di luar pernikahan.

Dalam perspektif Islam istilah pacaran masih mendapat kontrofersi, ada yang berpendapat pacaran itu “haram” dengan mengangkat jejak realita umum bahwa dalam pacaran sendiri sering terjalin; kedekatan komunikasi,  hubungan badan bahkan jatuh kepada perzinahan. Ada pula yang memberikan stereotype baru yaitu  “pacaran islami”, pacaran islami hampir sama dengan istilah pacaran pada umumnya, bedanya hubungan pacaran islami sering dibumbui dengan hal yang nampaknya berbau islami; menasehati, mengajak solat sunnah, dll.

Cermat penulis pacaran islami hanyalah bentuk “euphemism”, bisa diibaratkan dengan seseorang yang ingin bersuci dengan mengguanakan air, akan tetapi airnya menggunakan air najis, maka hasilnya tetap najis. Memang secara kasat mata pacaran islami tidak begitu fulgar, namun bagaiamana dengan jejak kemaksiatan hati? Karena pada hakikatnya pacaran islami tidak menjamin terhindar dari perkara maksiat baik secara batin maupun dhohir. Syetan tidak akan berhenti untuk tetap menggoda manusia, tidak mampu mengajak langsung kepada perzinahan, syetan akan membungkus kemaksiatan seolah-olah kebaikan. Di dalam Al Quran juga ditegaskan:

“Dan Janganlah Kalian Mendekati Zina; Sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji. Dan suatu jalan yang buruk.” (QS Al-Isra: 32)

“Dan janganlah kamu mencampuradukkan yang hak dan yang batil” (Al-Baqoroh:23)

Mari kita berfikir sejenak, cinta itu anugerah dan anugerah itu akan membawa berkah, apabila cinta hanya mendatangkan musibah atau lalainya hati kepada Rabbnya, menjadi ladang kemaksiatan hati dan mata kita, lantas apakah kita tidak malu kepada sang pemberi anugerah? atau mungkin itu bukan hanya sekedar cinta anugerah, melainkan suatu cobaan dan musibah bagi hati yang penuh darah. Sejatinya makna cinta yang sesungguhnya bagi ummat beragama ketika cinta membuat kita terhindar dari maksiat dan di sisi tuhan tetap bertabat.

Sayangnya banyak dari pemuda yang faham dengan jelas bagaimana dalil dan proporsi Nash tentang cinta, namun ada kebiasaan baru yang telah menjadi culture di tengah remaja kita dengan mengangap hal ini sudah biasa. Nampaknya ada krisis moral dalam pergaulan dan pemaknaan hakikat cinta.

About the author

Redaksi PP Al-Fattah

Redaksi PP Al-Fattah

Website dikelola oleh tim redaksi Pondok Pesantren Al-Fattah

Add Comment

Click here to post a comment

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.