Para wisudawan bersama segenap santri putra-putri Pondok Pesantren Al-Fattah merayakan rasa syukur atas selesainya jenjang S1-nya. Rasa syukur tersebut diwujudkan dengan diadakannya acara Tasyakuran Wisudawan-Wisudawati Pondok Pesantren Al Fattah 2020 di halaman masjid Nurul Iman Krapyak Kartasura. Tak banyak santri-santri yang hadir dalam acara tersebut, sekitar 130 santri yang ikut serta dalam acara di tengah era New Normal.
Kegiatan tersebut digelar pada hari minggu 31 Oktober 2020. Dengan jumlah wisudawan 11 orang, di antaranya 8 orang wisudawati dan 3 orang wisudawan yang kesemuanya itu lulusan S1 kampus tercinta ( IAIN Surakarta) yang dijanjikan tahun depan akan menjadi UIN Raden Mas Said. Seluruh santri dan para wisudawan mengikuti acara tasyakuran dengan penuh khidmah yang mana acara tersebut diawali dengan muqoddaman (mengkhatamkan Alquran dengan sistem dibagi per-juz). Kemudian, acara dibuka oleh MC kondang salah satu santri putra. Selanjutnya diisi dengan sambutan oleh ketua pondok dan dilanjut pengajian Mau’idhoh hasanah sekalian doa penutup oleh Dr. K H. Moh. Mahbub, S.Ag., M.Si. selaku pengasuh Pondok Pesantren Al-Fattah Krapyak.
Di sini penulis tidak akan menjabarkan detail tentang acara tersebut, namun lebih mengena pada pesan-pesan dari isi mauidhoh hasanah untuk para pembaca yang budiman khususnya santrinya abah yaiMahbub.
“Sampaikapan pun santri iku yooo..tetepsantri. Walaupun dia sudah tidak berada di Pondok”. Qoul (baca; pesan) dari abah dalam ceramahnya. Artinya sampai tak terbatas waktunya jiwa santri yang sudah tertanam dalam lubuk hati ketika masih di pondok itu tidak akan pudar status santrinya. Walaupun sudah mukim. Dari hal itu mengungkapkan bahwa begitu eratnya hubungan antara murid dengan guru sampai akhirat pun tak akan terputus. Maka itulah pentingnya kita belaja rmelalui guru.
Menjadi santri tidaklah mudah. Ditambah ketika kita juga mengemban status pelajar atau mahasiswa. Selain kita harus menguasai ilmu umum kita juga dicekoki dengan ilmu-ilmu Agama ketika di Pondok. Namun dari fasilitas tersebut justru sangat memudahkan kita untuk mengembangkan diri khususnya di era pesatnya teknologi. Selain kita sebagai santri yang sering distempel dengan tingkat keilmuan religiusnya yang tinggi, kita juga dapat memanfaatkan ilmu umum untuk menguasai teknologi tersebut. Missal, dengan menggunakan media handphone untuk memanfaatkan aplikasi Shoppe, Tokopedia, Bukalapak, Blog, Web dan banyak lainnya yang dapat dijadikan santri untuk berwirausaha. Dengan demikian, kita dapat menjadi pengusaha yang religius. Sangatlah elok bukan?!
Dominan seorang mahasiswa ketika sudah lulus mendamba-dambakan menjadi PNS (Pegawai Negeri Sipil). Namun, Abah yai dalam ceramahnya mengambil pepatah orang Cina “Pegawai adalah pilihan profesi orang-orang yang tidak begitu cerdas, pilihan profesi bagi orang-orang cerdas ialah menjadi seorang Pengusaha”. Dari pepatah itu abah menguatkan lagi penjelasan pada paragraf sebelumnya yaitu pengusaha. Maka ketika santri mukim di desanya dan sudah mengajar, bahkan sudah mendapat gelar sebagai PNS, jadilah pengajar yang cerdas. Yang dapat memanajemen waktu untuk menyalurkan ilmunya dan mengembangkan ilmu usaha di tengah masyarakat.
Proses belajar santri ketika di Pondok Pesantren itu di-syibhul-kan (bagaikan) pada proses pencangkokan tangkai kehidupan. Yang mana, kualitas hasil proses stek atau cangkok itu tidak sepenuhnya pengaruh dari tumbuhan yang dicangkok (stek). Sama halnya keberhasilan santri dalam menempuh ilmu itu tidak sepenuhnya pengaruh dari Pesantren yang ditempati. Namun kualitas keberhasilan proses cangkok itu sangat dipengaruhi oleh proses perawatan tanah pada tangkai yang kelak tumbuh akarnya. Sama halnya keberhasilan seorang santri itu sangat berpengaruh pada proses pembelajaran yang mengakar pada dirinya dan kelak sebagai bekal di masa depannya. Kemudian tumbuh berkembangnya santri dimasyarakat itu tergantung kuat dan tebalnya akar yang telah tumbuh ketika di Pesantren. Maka, Dr. K H. Moh. Mahbub S.Ag., M.Si. selalu membuka pintu lebar untuk para alumni (santri yang sudah mukim dan bermasyarakat) yang ingin menguatkan akar keilmuannya dengan sowan ke ndalem (rumah abah).
Abah melanjutkan mauidhohnya dengan memberikan ilmu-ilmu dan motivasi-motivasi untuk para santri khususnya para wisudawan untuk menjadi bekal ketika terjun di masyarakat.
Kemampuan intelektual itu tidak sepenuhnya menentukan pada tingkat kesuksesan seseorang. Namun, ada dua hal lain yang sangat mempengaruhi sebuah kesuksesan tersebut. Sebagaimana apa yang menjadi pathokan (landasan) bagi Pondok Pesantren Al-Fattah dalam membentuk sebuah karakter santri yaitu kemampuan intelektual, kemampuan spiritual, dan kemampuan social.
Kemampuan intelektual merupakan suatu keahlian seseorang dalam menyelesaikan pekerjaan atau masalah dengan landasan pemikiran berdasarkan ilmu pengetahuan. Seperti apa yang telah dipelajari oleh kita di kampus maupun di pondok ketika diniyah. Kemampuan spiritual itu sebuah kecerdasan jiwa untuk mendukung seseorang dalam mengembangkan dirinya untuk menerapkan nilai-nilai yang positif. Sesuai apa yang sudah mnjadi rutinan di pesantrenya itu dengan amalam-amalan dan dzikiran yang menjadikan kemampuan spiritual kita semakin tinggi. Kemudian yang terakhir yaitu kemampuan social, meruapakan kemampuan setiap individu dalam menjalin hubungan komunikasi dengan orang lain atau dalam bahasa pesantren itu Srawung.
Oleh sebab itu, abah yai selalu mengingatkan bahwa amalan dan dzikiran di pondok jangan sampai ditinggalkan ketika sudah boyong (baca; pamit) dari pondok. Dan selalu menjalin sosial-komunikasi dengan masyarakat sekitar.
Oleh: Muslihuddin
Add Comment