Indonesia adalah bangsa yang besar, yang terdiri atas bermacam budaya, bahasa, dan agama. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), menyatakan ada 1.128 suku bangsa dan bahasa, ragam agama dan budaya dengan sekitar 16.056 pulau, yang kita sebut dengan Nusantara.
Oleh karena itu, perlu bagi Indonesia mempunyai konsepsi, kemauan dan kemampuan yang kuat untuk memadai dan menopang kebesaran, keluasan dan kemajemukan ragam budaya yang merupakan kekayaan terpenting bagi Indonesia.
Sebuah diskusi antara Ketua Badan Sosialisasi MPR RI Ahmad Basarah dengan MK Arief Hidayat diadakan di Perpustakaan MPR, hari Senin tanggal 2 Maret 2015, membicarakan tentang berbagai problematika yang sedang dihadapi Indonesia terkait persatuan umat bernegara yang mempunyai beragam kepercayaan.
Akhirnya, dalam diskusi tersebut mengalami puncak pembahasan tentang penggunaan istilah “Empat Pilar” yang sempat menjadi polemik bahasan publik. Karena munculnya presepsi bahwa Pancasila diposisikan sebagai tiang sejajar dengan tiga pilar yang lainnya. Padahal Pancasila bersifat fundamental bagi suatu negara. Namun, Ahmad Basarah menegaskan dalam diskusinya, penggunaan istilah “Pilar” bukan dimaksudkan untuk menyejajarkan Pancasila dengan pilar yang lain. Akan tetapi sesuai KBBI pilar berarti bukan hanya tiang sejajar, tetapi juga suatu yang induk dan pokok.
“Pilar diasosiasikan sebagai nilai yang sejajar. Pancasila sebagai Dasar dan Ideologi Negara, UUD NRI 1945 sebagai Konstitusi Negara dan Ketetapan MPR RI, NKRI sebagai bentuk Negara dan Bhineka Tunggal Ika berkedudukan sebagai Semboyan Negara,” lanjut Ketua MPR Republik Indonesia.
Menurut Jazilul Fawaid (Wakil Ketua MPR RI) dan Prof. Dr. H. Zainal Abidin M. Ag. dalam artikelnya yang berjudul Perspektif Islam Terhadap Pancasila, UUD 1945, Bhineka Tunggal Ika dan NKRI bahwa empat pilar kebangsaan secara normatif tidak ada celah pertentangan dengan Islam, karena empat pilar tersebut merupakan bagian dari ijtihad para tokoh Islam di era kebangkitan bangsa dengan mempertimbangkan situasi dan kondisi masyarakat bangsa Indonesia.
Berdasarkan aspek teologis, Islam dalam hal bernegara mempunyai pandangan dari dua sisi. Sisi pertama, al-Qur’an tidak mencantumkan secara pasti akan bentuk negara tertentu yang boleh dan harus didirikan oleh kaum muslim. Akan tetapi, di sisi lain banyak ayat al-Quran yang mengandung nilai-nilai dan konsepsi politik dalam suatu Negara. Hal ini menunjukan bahwa Islam memberi hak penuh dalam memilih model atau bentuk suatu negara berdasarkan kondisi bangsanya.
Hadratusyaekh K.H. Maimun Zubair dalam ceramahnya dalam rangka haul Gus Dur ke-9 menyampaikan “NU adalah organisasi yang menjadi garda terdepan dalam menjaga kesatuan bangsa. Sampai-sampai Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) yang menjadi pengurus pusat NU, memiliki kesamaan singkatan dengan empat pilar kebangsaan yaitu Pancasila, Bhineka Tunggal Ika, NKRI dan UUD 1945 atau bisa disingkat PBNU. Dan bersifat vital bagi keduanya,” ucap kyai diselimuti tawaan khasnya.
Kesamaan singkatan PBNU antara Pengurus Besar Nahdlatul Ulama dengan empat pilar kebangsaan, pada realitanya memudahkan dalam mensosialisasikan pada tubuh NU, yang mana saat ini NU merupakan organisasi terbesar di negara yang luas ini.
Dalam perkembangan sejarahnya, di tengah maraknya masalah tentang pertentangan isi Pancasila yang belum sepenuhnya diterima masyarakat banyak, pada 1983, NU mengadakan Munas Alim Ulama di Situbondo tentang isi Pancasila. Kendatipun, menghasilkan kesimpulan bahwa isi Pancasila sudah sesuai dengan ajaran Islam.
Kemudian, pada tahun 1984 pada Muktamar Nahdlatul Ulama mendeklarasikan tentang hubungan Pancasila dengan Islam sesuai hasil Munas di Situbondo. Sehingga pada saat itu, NU merupakan ormas yang pertama kali menerima Pancasila sebagai ideologi Negara. Pasca muktamar para tokoh Islam tak jarang menyiarkan bahwa Pancasila merupakan upaya umat Islam Indonesia dalam menjalankan syari’at agamanya.
Tantangan bagi kehidupan berbangsa saat ini dalam menjaga persatuan negara adalah pemikiran-pemikiran dan gerakan transnasional yang berusaha mengganti Pancasila yang sudah final itu, mereka menganggap bahwa Pancasila bukanlah asas tertinggi dan tidak sesuai ajaran Islam. Pergerakan inilah yang selalu berupaya menyusutkan eksistensi Pancasila dan ingin menggantikan dengan ideologi lain yang dianggapnya lebih islami.
Oleh karena itu, kesamaan singkatan PBNU bukan sebuah kebetulan semata. Akan tetapi, sebuah panggilan sejarah supaya warga NU berperan aktif dan bertanggungjawab dalam mensosialisasikan empat pilar tersebut demi terwujudnya baldatun thoyyibatun wa rabbun ghaffur. Negara yang aman, damai rukun dan menimbulkan kemakmuran bagi masyarakatnya.
Penulis : Muslihudin
Editor : Khoirunnisa
Add Comment