Apa yang menyebabkan perempuan rentan mendapatkan perlakukan menyimpang? begitu sulitkah kita menerima perspektif mubadalah dalam relasi hidup?
Sepanjang sejarah, pembahasan mengenai pelecehan seksual yang menimpa kaum perempuan nyatanya memang tidak pernah rampung untuk didiskusikan. Parahnya, perempuan yang notabenenya menjadi korban malah kerap dijadikan kambing hitam atas perlakuan yang menimpanya. Bukan untuk dibela dan dilindungi haknya, justru perempuan dipaksa untuk menerima dan dijadikan pemicu terjadinya pelecehan tersebut.
Stereotip masyarakat mengenai perempuan yang memiliki kedudukan di bawah laki-laki, the second sex, masih menjadi dogma atas berlakunya penindasan dan pelecehan kepada kaum perempuan. Tindakan tersebut mengarah pada pelanggengan sistem patriarki dan penghegemonian yang menjadikan kaum perempuan berada dalam superioritas kaum laki-laki. Jika diamati lebih dalam, bukankah saat ini akses munculnya perempuan di ruang publik mudah untuk diterima dan dapat diakui? Lalu apa yang menyebabkan perempuan masih kerap mendapatkan perlakuan pelecehan?
Pelecehan yang marak terjadi bukan hanya tindakan yang mengarah pada tindakan seksual baik pencabulan, pemerkosaan, maupun kekerasan terhadap perempuan. Akan tetapi memandang rendah dan memandang hina kedudukan perempuan merupakan langkah awal di mana pelecehan seksual di atas kerap terjadi.
Mengapa harus perempuan? Perempuan kan juga manusia, sekali lagi perempuan adalah manusia!
Pernyataan tersebut penting untuk ditegaskan dan disuarakan bahwa perempuan bukanlah makhluk liyan dari kaum laki-laki namun setara dalam penciptaan dan hak-haknya. Dikisahkan suatu saat, Sayyidah Ummu Salamah juga pernah melakukan hal serupa ketika pelayannya mencoba mencegahnya untuk ikut menghadiri seruan Nabi. “Yang dipanggil itu laki-laki bukan perempuan.” Ummu Salamah menimpali, “Yang dipanggil itu manusia. Aku, kan manusia.” Pembelaan tersebut merupakan salah satu bentuk perlawanan perempuan untuk mendapatkan hak eksistensinya sebagai manusia yang juga memiliki martabat dan kehormatan yang sebangun dengan hak-hak kaum laki-laki.
Perempuan dahulu dengan perempun saat ini mungkin hanya berbeda pada akses dan peluang diperbolehkannya perempuan bekerja pada ranah publik. Akan tetapi, jika kesetaraan dapat diterima apakah bentuk penindasan dan meredahkan perempuan tidak akan terjadi?
Faktanya, bentuk kesetaraan yang banyak dipahami masyarakat hanya merujuk pada pengaktualisasian diri perempuan dalam mengembangkan bakatnya. Tidak pada penghayatan seseorang dalam memahami dan menerapkan bagaimana makna-makna agama dapat terealisasikan tanpa harus bersikap saklek terhadap rujukan tertentu. Hal ini dapat disandarkan pada peristiwa pelecehan yang kerap diterima perempuan baik hal tersebut mengarah pada publik maupun privat, namun yang perlu digaris bawahi adalah tindakan pelecehan tidak bisa dianggap sebagai bahan candaan yang meminta pihak perempuan untuk melupakan dan memaafkan. Atau menuduh perempuan sebagai sumber utama bagi laki-laki guna meyalurkan hasratnya, jika demikian mengapa perempuan yang sudah berusaha menutup aurat dan memakai pakaian yang sopan masih rentan mendapatkan perlakuan yang tidak sepantasnya diberikan kepada sesama makhluk Tuhan? Sebagaimana yang dijelaskan dalam sebuah hadis:
“Janganlah kamu merendahkan atau menghina siapa pun dan apa pun, karena Tuhan tidak merendahkan atau menghinanya saat menciptakannya.”
Salah satu faktor terjadinya perlakuan pelecehan kerap dikaitkan dengan anggapan perempuan sebagai manusia yang kurang akal dan kurang agama, sehingga laki-laki mudah menguasai dalam hal apapun yang didasarkan pada dogma agama. Malah tak jarang ayat-ayat al-Quran ditafsirkan sebagai justifikasi dominasi kuat laki-laki dalam Islam, sementara perempuan selalu dinilai sebagai the other sex. Misalnya al-Nisa’ [4]: 34 menyatakan bahwa laki-laki adalah qawwamuna, pemimpin bagi kaum wanita. Oleh karenanya, Allah melebihkan sebagian mereka (laki-laki) atas sebagian yang lain (perempuan).
Namun, bukankah hal tersebut terlalu tekstual dalam menilai dan memahami apa yang telah diajarkan dalam agama? Padahal agama Islam menawarkan anjuran untuk berbuat baik kepada siapapun dan apapun, tidak salah jika terdapat anggapan bahwa sesungghnya orang-orang demikianlah yang terlalu sempit dalam menyikapi sesuatu, yang justru kebergantungannya kepada agama menjadikannya terlampau jauh dari apa yang telah diajarkan.
Riffat Hassan mengatakan bahwa kata qawwamuna dalam al-Nisa’ [4]: 34, lebih tepat diartikan sebagai pemberi nafkah, bukan sebagai pemimpin. Ditafsirkan sebagai kewajiban laki-laki secara umum untuk menafkahi wanita secara umum yang sedang melahirkan atau membesarkan anak, bukan ditafsirkan sebagai dominasi mutlak laki-laki terhadap wanita (Rita, 2015).
Lalu, realitas yang ditunjukkan bahwa pelaku pelecehan seksual bukan hanya berangkat dari orang-orang pinggiran yang kurang mempelajari norma-norma agama dan moralitas kemanusiaan, justru juga banyak dilakukan oleh orang-orang dari kalangan terhormat yang seharusnya lebih memahami dan bermoral tinggi.
Oleh karena itu, perspektif mubadalah yang ditawarkan para ulama’ tidak hanya dimaknai sebagai bentuk kesetaraan pada ranah publik dan domestik. Akan tetapi memahaminya dengan pandangan yang lebih luas, di mana antar individu dapat menjunjung tinggi dan memperhatikan nilai-nilai kehormatan antar sesama. Bukan hanya untuk laki-laki, namun juga terhadap perempuan. Jika relasi tersebut dapat berjalan dengan baik, hal ini dapat mengurangi bahkan menghapuskan perlakuan menyimpang yang menimpa suatu kaum.
Tentunya, gerakan untuk menyuarakan dan mengembangkan mengenai sikap ‘saling’ kepada antar individu bukan hanya dilakukan dari pihak perempuan saja. Justru yang paling penting adalah diskusi-diskusi yang dilakukan kaum laki-laki untuk menyadarkan dan mengingatkan, bahwa pada diri seorang perempuan terdapat kehormatan dan hak atas diri mereka sendiri. Kaum laki-laki tidak seharusnya bersikap superior atas perempuan meskipun hal itu ada dalam ranah privat, dalam berumah tangga pun istri berhak mendapatkan penghormatan dari sang suami begitu pula sebaliknya. Sehingga relasi yang terjalin di dalamnya ada pada ‘perizinan’ kepada pasangannya. Ditegaskan dalam surat al-Furqaan [25]: 54 sebagai berikut:
وَهُوَ الَّذِيْ خَلَقَ مِنَ الْمَاۤءِ بَشَرًا فَجَعَلَهٗ نَسَبًا وَّصِهْرًاۗ وَكَانَ رَبُّكَ قَدِيْرًا
“Dan Dia-lah yang menciptakan manusia dari air, lalu Dia jadikan manusia itu (punya) keturunan dan hubungan kekeluargaan. Dan Tuhanmu itu Maha Kuasa.”
Ayat di atas menjelaskan tentang kesetaraan laki-laki dengan perempuan atas penciptaan-Nya. Sehingga ayat tersebut bersifat plural yang tidak mengubah pandangan patriarki menjadi matriarki atau superioritas dapat dikuasai oleh perempuan, namun merujuk terhadap keseimbangan antara laki-laki dengan perempuan tidak mengunggulkan salah satunya. Demikian, manusia dapat menjalankan pokok ajaran Islam Rahmatan Lil ‘alamin yakni dengan cara memanusiakan manusia bahkan memakhlukkan sesama makhluk.
Sebagaimana hadis yang telah diajarkan oleh Nabi Muhammad Saw.
عن أنس عن النّبيّ صلى الله عليه وسلم قال لاَيُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ حَتَى يُحِبُّ لأَخِيْهِ مَا يُحِبُّ لِنَفْسِهِ, وَفِي رواية أحمد: لَا يُؤْمنُ أَحَدُكُمْ حَتَّي يُحِبُّ لِلنَّاسِ مَا يُحِبُّ لِنَفْسِهِ
Diriwayatkan dari Anas r.a. dari Nabi Saw, beliau bersabda, “Tidaklah beriman seseorang di antara kamu sehingga mencintai untuk saudaranya apa yang dicintai untuk dirinya.” Dalam riwayat Imam Ahmad, “Tidaklah beriman seseorang di antara kamu kecuali mencintai untuk orang lain apa yang dicintai untuk dirinya.” (Shahih al-Bukhari dan Musnad Ahmad ).
Jadi bagaimana? tidakkah sesungguhnya tujuan manusia itu semuanya sama? Jangankan kekerasan atau pelecehan yang dilakukan laki-laki terhadap perempuan. Sesama perempuan saja kerap terjadi penindasan.
Semua manusia berhak mendapatkan eksistensinya dalam lingkungan. Termasuk mendapatkan hak kedamaian. Wallahu a’lam bish shawab
Oleh: Puji Lestari
Add Comment