Opini

Bukti Keotentikan Bahasa Al-Quran

Sudah mafhum, tentu, bahwa Allah mengutus rasul-Nya  dengan bahasa kaumnya. Kesimpulan tersebut terbaca dalam Ibrahim [14]: 4. Dengan mengutus para rasul sesuai bahasa kaumnya, niscaya Allah menurunkan kitab suci sesuai bahasa para rasul-Nya. Misalnya, kepada Musa yang berbahasa Ibrani, Taurat pun diturunkan memakai bahasa Ibrani. Demikian juga Isa dan Injil yang berbahasa Suryani, dan Muhammad dan al-Quran yang berbahasa Arab (Ma Hiya Lughat al-Kutub al-Samawiyah, 2020).

Bahkan, Al-Quran sendiri menyinggung bahasa yang dipakainya dalam beberapa ayat, di antaranya Yusuf [12]: 2, al-Zumar [39]: 28, al-Syu’ara` [26]: 195 dan al-Nahl [16]: 103. Kita simak ayat yang paling belakang disebut.

وَلَقَدْ نَعْلَمُ اَنَّهُمْ يَقُوْلُوْنَ اِنَّمَا يُعَلِّمُهٗ بَشَرٌۗ لِسَانُ الَّذِيْ يُلْحِدُوْنَ اِلَيْهِ اَعْجَمِيٌّ وَّهٰذَا لِسَانٌ عَرَبِيٌّ مُّبِيْنٌ

Sungguh, Kami benar-benar mengetahui bahwa mereka berkata, “Sesungguhnya ia (Al-Qur’an) hanyalah diajarkan kepadanya (Nabi Muhammad) oleh seorang manusia.” Bahasa orang yang mereka tuduh (bahwa Nabi Muhammad belajar kepadanya) adalah bahasa A’jam. Padahal, ini (Al-Qur’an) adalah bahasa Arab yang jelas.

Jelas terbaca, bahasa al-Quran adalah bahasa Arab, dan bukan bahasa ‘Ajam sebagaimana yang dituduhkan oleh orang-orang musyrik.  Apa itu bahasa ‘Ajam?

Takrif ‘Ajam dan A’jamiy

Kata tersebut terdiri dari tiga akar kata yaitu ‘ain, jim dan mim. Ibn Faris dalam Maqayis al-Lughah memberi, setidaknya tiga arti untuk kata tersebut; diam, (sesuatu yang) keras atau kuat, dan teguh (4/239).

Selain ketiga arti di atas, ada beberapa arti lain dalam ragam derivasinya. Seperti a’jam dan ‘ujmah yang berarti tidak fasih, ‘ajam yang berarti bukan dari Arab, dan huruf al-mu’jam yang berarti huruf muqattha’ah, atau huruf Hijaiyah (أ، ب، ث،…).

Dari beberapa takrif di atas, setidaknya ada dua isitilah yang perlu kita garis bawahi, yaitu ‘ajam dan a’jam.

‘Ajam adalah suatu sifat untuk semua yang bukan dari bangsa Arab. Mereka—orang Arab—menyifati demikian sebab orang-orang non-Arab tak mampu dengan fasih berbahasa Arab atau tidak paham sama sekali tentang bahasa Arab.

Salih al-Khalidi dalam al-A’lam al-A’jamiyah fi al-Quran (2006) menyebutkan, apabila seseorang yang non-Arab belajar bahasa Arab dan menguasainya, ia tetaplah ‘Ajam secara nasab. Sampai di sini, ada satu arti kunci dari ‘ajam, yaitu nasab.

Berbeda dengan definisi ‘ajam, kata a’jamiy adalah sifat untuk ujaran, perkataan dan ungkapan. Persoalan nasab tidak masuk dalam definisi a’jamiy. Jadi, seseorang, meskipun beretnis Arab, tapi tidak bisa bahasa Arab, ia disebut a’jamiy. Singkatnya, a’jamiy adalah istilah untuk yang tidak bisa bahasa Arab, meskipun beretnis Arab, sementara ‘ajamiy adalah istilah mereka yang non-Arab secara nasab.

Kata A’jam dalam al-Quran

Di awal tulisan ini, telah kita baca utuh al-Nahl [16]: 103 dengan seksama. Dan kita ingat, atau jika ragu, bacalah ulang ayat di atas, maka kita akan menemukan bahwa ayat tersebut menyitir a’jamiy (non-bahasa Arab) dan bukan ‘ajam.

Ayat tersebut menyatakan al-Quran sebagai kitab suci yang benar-benar diturunkan dalam bahasa Arab, dan Nabi Muhammad tidak pernah menerimanya dari seseorang non-Arab sebagaimana yang dituduhkan orang-orang musyrik.

Sekaligus, ayat tersebut mengajak mereka berpikir kembali, bagaimana mungkin mereka menisbatkan al-Quran yang jelas-jelas berbahasa Arab kepada seseorang non-Arab? Dan bagaimana mungkin orang yang sama sekali tidak bisa berbahasa Arab, atau hanya mengerti beberapa kata saja, mampu membikin kalimat dalam bahasa Arab, bahkan mengungguli bangsa Arab asli?

Al-Tabari dalam Tafsirnya meriwayatkan, suatu ketika Nabi Muhammad duduk bersama seorang pemuda Nasrani di Marwah, konon bernama Jabr, seorang budak dari klan Bayadhah al-Hadhrami. Pertemuan itu diketahui oleh orang-orang musyrik. Lalu mereka menuduh Nabi Muhammad dengan tudingan bahwa semua yang keluar dari mulut Muhammad adalah apa yang diajarkan Jabr al-Nasrani kepadanya. Lalu turunlah al-Nahl [16]: 103 sebagai bantahan atas tudingan tersebut (4/559).

Selain al-Nahl [16]: 13, kata a’jam juga disebut dalam al-Syu’ara [26]: 198 (ayat 199 disertakan untuk melengkapi makna ayat sebelumnya).

وَلَوْ نَزَّلْنٰهُ عَلٰى بَعْضِ الْاَعْجَمِيْنَ ۩ۙ فَقَرَاَهٗ عَلَيْهِمْ مَّا كَانُوْا بِهٖ مُؤْمِنِيْنَ۩ ۗ

Seandainya Kami menurunkannya kepada sebagian dari golongan non-Arab.Lalu, dia membacakannya kepada mereka (orang-orang kafir), niscaya mereka tidak juga akan beriman kepadanya.

Dalam ayat di atas, disebut kata a’jamin dengan bentuk jamak mudzakkar salim.

Ayat tersebut menyatakan, andaikan Allah menurunkan al-Quran bukan dengan bahasa Arab, melainkan dengan bahasa a’jam (non-bahasa Arab), mereka—orang-orang musyrik Makkah, sekalipun membacanya, tetap tidak akan memercayainya.

Dalam ayat lain, sekali lagi Allah menegaskan bahwa al-Quran adalah benar-benar berbahasa Arab. Penegasan panjang itu kita baca dalam Fusshilat [41]: 44.

وَلَوْ جَعَلْنٰهُ قُرْاٰنًا اَعْجَمِيًّا لَّقَالُوْا لَوْلَا فُصِّلَتْ اٰيٰتُهٗ ۗ ءَاَ۬عْجَمِيٌّ وَّعَرَبِيٌّ ۗ قُلْ هُوَ لِلَّذِيْنَ اٰمَنُوْا هُدًى وَّشِفَاۤءٌ ۗوَالَّذِيْنَ لَا يُؤْمِنُوْنَ فِيْٓ اٰذَانِهِمْ وَقْرٌ وَّهُوَ عَلَيْهِمْ عَمًىۗ اُولٰۤىِٕكَ يُنَادَوْنَ مِنْ مَّكَانٍۢ بَعِيْدٍ ࣖ

Seandainya Kami menjadikannya (Al-Qur’an) bacaan dalam bahasa selain Arab, niscaya mereka akan mengatakan, “Mengapa ayat-ayatnya tidak dijelaskan (dengan bahasa yang kami pahami)?” Apakah patut (Al-Qur’an) dalam bahasa selain bahasa Arab, sedangkan (rasul adalah) orang Arab? Katakanlah (Nabi Muhammad), “Al-Qur’an adalah petunjuk dan penyembuh bagi orang-orang yang beriman, sedangkan orang-orang yang tidak beriman, pada telinga mereka ada penyumbat dan mereka buta terhadapnya (Al-Qur’an). Mereka itu (seperti) orang-orang yang dipanggil dari tempat yang jauh.”

Ayat ke-44 surah Fusshilat ini masih berkaitan dengan awal surah, ayat 1-3 yang menyinggung bahasa al-Quran. Ḥa Mīm. (Al-Qur’an ini) diturunkan dari Tuhan Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Kitab yang ayat-ayatnya dijelaskan sebagai bacaan dalam bahasa Arab untuk kaum yang mengetahui.

Ketiga ayat, yaitu al-Nahl [16]: 103, al-Syu’ara [26]: 198, dan Fusshilat [41]: 44, semuanya guna membantah serta menegaskan kepada orang-orang musyrik bahwa al-Quran adalah benar-benar kalamulllah yang diturunkan kepada rasul-Nya dengan menggunakan bahasa kaumnya.

Akan tetapi, mereka tetap keras kepala hingga al-Quran mengibaratkan mereka bak orang tuli dan buta, “pada telinga mereka ada penyumbat dan mereka buta terhadapnya (Al-Qur’an). Mereka itu (seperti) orang-orang yang dipanggil dari tempat yang jauh.”

Oleh: Khoirul Athyabil Anwari

About the author

Redaksi PP Al-Fattah

Redaksi PP Al-Fattah

Website dikelola oleh tim redaksi Pondok Pesantren Al-Fattah

Add Comment

Click here to post a comment

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.