Takbir, yang diungkapkan dalam lafazh اللَّهُ أَكْبَرُ (Allahu Akbar), merupakan ungkapan yang mendalam dalam agama Islam. Takbir bukan hanya sekedar seruan atau bentuk penyembahan, tetapi juga merupakan manifestasi kebesaran Allah yang mencerminkan keyakinan dan penghormatan yang mendalam dari umat Muslim. Dalam praktik ibadah sehari-hari, lafadz takbir (Allahu Akbar) memainkan peran penting, khususnya dalam shalat. Abu Syuja’, dalam kitabnya yang terkenal “Ghayah wa Taqrib,” menjelaskan bahwa dalam sehari terdapat 17 rakaat shalat wajib terdapat 94 kali takbir. Hal ini menunjukkan betapa takbir menjadi elemen esensial dalam kehidupan muslim khususnya dalam rangkaian ibadahnya. Namun, apakah dengan itu semua, kita sudah memahami makna takbir yang sesungguhnya?
Jika ditelisik dari segi gramatikalnya, lafadz اللَّهُ أَكْبَرُ terdiri dari 2 term, yaitu lafadz اللَّهُ sebagai mubtada, dan lafadz أَكْبَرُ sebagai khobarnya. Maka jelas makna dari lafadz أَكْبَرُ sebagai penjelas dan penyempurna dari lafadz اللَّهُ. akan tetapi pada lafazd أَكْبَرُ disini merupakan bentuk isim tafdhil yang mengikuti wazan أَفْعَلُ yang bermakna “paling” atau “lebih”. Maka, jika dirangkai keduanya apakah kemudian bisa diartikan Allah paling besar?
Ust. Ruba’i seorang tokoh agama, sekaligus kepala sekolah Ma. Darul Hikam di Kudus menyampaikan disalah satu Khotbahnya bahwa lafadz أَكْبَرُ tidak bisa dimaknai secara literal sesuai dengan kaidah nahwu. karna jika lafadz أَكْبَرُ dimaknai dengan “yang paling besar” maka dapat diartikan Allah mempunyai jism, kata “yang paling besar” juga bisa berarti terdapat 2 hal yang serupa yang kemudian salah satunya yang paling besar, dalam artian Allah mempunyai pembanding lain yang lebih kecil. selaras dengan pengertian Isim tafdhil pada kitab Amtsilati karya KH. Taufiqul Hakim dari Jepara bahwasanya isim tafdhil adalah “isim musytaq yang menunjukan bahwa ada dua kata yang mengandung arti yang sama, namun salah satunya ada yang melebihi yang lain”.
Maka dari pemahaman diatas lafadz اللَّهُ أَكْبَر tidak bisa diartikan Allah yang paling besar. jika demikian, maka akan sangat bertentangan dengan paham ahlu sunnah bahwa Allah dzat yang wahdatul wujud, wajibil wujud, dan kamalul wujud. Walaupun terdapat beberapa ulama yang juga mengartikan lafadz أَكْبَرُ dengan makna “yang paling besar” seperti ibnu katsir walaupun ditambah redaksi من كل شيء yang bisa dimaknai “Allah yang paling besar dibandingkan dengan segala sesuatu” tetap saja menurut Lukman Hakim seorang ahli tasawuf mengatakan “tidak lantas dimaknai bahwa Allah lebih besar dari alam semesta, dan lain-lain karena pada hakikatnya Ia tidak terjangkau oleh alam pikiran manusia” dalam salah satu tulisan di NUonline. Hemat penulis, karena dengan makna literal memungkinkan dapat dimaknai awwam dengan makna yang rancu. Maka, ulama sepakat memaknai lafadz اللَّهُ أَكْبَرُ dengan “Allah Maha besar”, bukan Allah paling besar.
Maka sedikit dari pengetahuan penulis memahami lafadz اللَّهُ أَكْبَرُ (Allahu Akbar) memiliki signifikansi yang mendalam dalam kehidupan seorang Muslim, karena lafadz ini tidak hanya berkaitan dengan ranah ibadah tetapi juga akidah dan spiritualitas. Oleh karena itu, penting bagi setiap Muslim untuk memahami dan menginternalisasi makna dari lafadz “Allahu Akbar” sebagai bagian dari upaya memperkuat akidah dan spiritualitas kita.
Author : Faliech Saiful Khawash
Add Comment