Informasi Tasawuf

Agama Sebagai Wadah Intelektualitas dan Spiritualitas (Intervensi Agama Tuhan dan Agama Manusia) (1)

Beragama betapapun melibatkan fisik dalam menjalankan ritual-ritualnya adalah urusan rumah (hati) yang ada dalam diri dan urusan Ruhani. Ritual, seberapa pun pentingnya dalam kehidupan keagamaan, adalah sebuah simbol. Aktivitas paling jauh adalah membantu pelakunya mengoperasikan keruhaniannya dengan lebih baik. Sekalipun terkait dengan etika, hukum, politik dan soal-soal profan lainnya. Esensi dan puncak keberagamaan adalah berada di alam ruhani.

Beragama tidak lepas dari intervensi keruhanian dan spiritualitas. Tanpa spiritualitas agama adalah sebuah wadah yang ambivalen dan oportunis simbol-simbol yang tanpa makna. Manusia, di dunia maya yang dibatasi oleh ruang dan waktu. Maka pada hakikatnya hidup di alam spiritualitas menjadi kehidupan yang hakiki. Semua manusia diciptakan dengan berbagai fitrah dan tabiat bawaan alam ruhani, sehingga spiritualitas menjadi modal utama.

Kemudian pergerakan mobilisasi, apakah fitrah itu diaktualisasikan atau kah tidak, antara lewat berbagai latihan spiritual dan asketisme yang membersihkan cermin ruhaninya. Ya, agama itu spiritualitas, dari spiritualitas lahir moralitas dan menajdi rahmat bagi alam semesta. Walaupun demikian, kemungkinan bersinggungan dengan politik dan tidak layak untuk dijadikan ideologi. Jika sebuah agama dijadikan ideologi dan politisasi, maka front-front konflik akan rentang terjadi, baik dengan pengikut agama yang sama, apalagi pengikut agama dan kelompok lain.

Ruh dari agama perlu dikembalikan pada posisinya sebagai panduan kegiatan pembersihan hati secara terus-menerus, panduan moral dan pendorong amal-amal shaleh, sebagai salah satu bentuk realitas dan aktualitas rahmat atas semesta alam. Tuhan secara terus terang menyatakan diri-Nya “kasih sayang-Ku meliputi apa saja (Ayat Suci Al-Qur’an)” dan “kasih sayang-Ku menundukkan murka-Ku (Hadis Nabi Muhammad saw.)”. kontekstualisasi dan realitas alam jagad raya sebagai fasilitas dan meaditator kesenjangan membangun alam ruahani.

Kemudian realitas etika sosial dan Islam, menuntut ajarannya dalam bentuk amal sosial, yang secara implisit ada dalam rukun Islam. Dengan gagasan ini, mengkritik pengalaman ibadah individualis, merayu Tuhan sendirian di atas sajadah agar masuk surga sendirian. Perjuangan etik sosial, tanpa merek ideologi, sebagai agama, jika di simbolkan dengan ideologi, maka agama akan menjadi duniawi. Nilai-nilai profan diluar nilai-nilai agama perlu ada pemetakan pengkategoresasian nilai yang bersifat sakralitas dan nilai profanitas.

Agama sebagai inspiratif normatif, dalam konteks apapun. Sehingga Agama membawa musawa dalam level Rahmatal Lil Al-Amin. Etika sosial, penempatan ajaran Islam, sebagai kerangka etis kemasyarakatan. Dengan demikian, seharusnya pemerintah mengupayakan kebangkitan sosial, bukan untuk kepentingan pribadi, apalagi kepentingan keluarga, sungguh sangat tidak etis. Ajaran etika sosial Islam mengkritik perilaku dan struktur masrakat tidak etis, dan tidak adil. Dalam suatu negara, akan maslahat apabila pemenpinnya berkontribusi untuk memberikan kemaslahatan. Hal ini sangat susah untuk di praktekkan di negara kita, karena para pejuang pemimpin, sama-sama membeli suara rakyat. Yang pada akhirnya, jadi pemimpin, berlomba-berlomba untuk mengembalikan modal. Anggaplah jadi pemimpin mu’amalah, menghitung modal, dan mencari labah lebih menguntungkan.

Sayidina Umar menjadi Khalifah, mengembangkan transformatif dan revolusioner terhadap negara Arab. Itu pun sayidina Umar merasa sangat banyak kekurangan. Ungkapan sayidina Umar Aku di angkat menjadi Khalifah, jika aku berada pada jalan yg benar maka aku akan di hisab, jika aku salah maka aku akan disiksa. Jika aku tidur di siang hari aku menyia-nyiakan rakyaktku, jika aku tidur di malam hari, maka aku menghilangkan hakku untuk menghadap Tuhanku”. Kebutuhan sosial dan perkembangan transformasi tidak hanya terikat di dunia Arab, melainkan menyebar keperbagai belahan dunia.

Pada era perkembangannya banyak tokoh besar yg telah mencapai kualifikasi sebagai kategori Mujtahid dan memiliki Mazhab yg diikuti. Termasuk Sufyan al-Tsauri wafat 161 H. Yang lahir di Khurasan dan meniggal di Bashrah, Al-Laits Sa’d wafat 175 H. Yang lahir Qalqasyandah dan meninggal di Kairo, Abdurrahman al-Auza’i wafat 157 H. Yang lahir di Ba’labak dan meninggal di Beirut dan yg lain. Dalam perjalanannya mazhab-mazhab bisa dikatakan punah karena tidak dikembangkan oleh para penerusnya. Hingga saat ini umumnya diakui ada empat Mazhab dalam Sunni, dua Mazhab dalam Syiah, plus dua lagi yang berada diluar rumpun tersebut, yaitu Mazhab Zhahiri dan Ibadhi. Mazhab-mazhab tersebut dari kalangan Sunni Imam Hanafi, Maliki, Sayafi’e dan Hanbali. Dari kalangan Syi’ah yaitu dari Syi’ah Ja’fari dan Syiah Zaidi. Dan selebihnya Ibadhi dan Zahiri. Delapan Mazhab ini lah yg sampai sekarang masih eksis.

Lanjut bagian (2) klik link: https://www.alfattah.or.id/agama-sebagai-wadah-intelektualitas-dan-spiritualitas-intervensi-agama-tuhan-dan-agama-manusia-2/