Al-Ashma’i, sebagaimana yang ditulis adz-Dzahabi dalam karya monumentalnya, Siyar A’lam an-Nubala’, adalah seorang imam, cerdik cendekia, al-Hafiz(sebutan bagi orang yang hafal seratus ribu hadits), sastrawan, dan linguis arab yang lahir pada tahun 121 H. di Bashrah, Iraq. Bernama asli Abu Said Abdul Malik bin Quraib bin Abul Malik bin Ali bin Ashma’.
Nama yang belakangan disebutkan ini kelak menjadi nama besarnya ketimbang nama kecilnya, Abdul Malik. Di dalam kitab yang disebut di depan, adz-Dzahabi mengutip perkataan Imam Syafi’i mengenai al-Ashma’i, “Tidak ada ungkapan dari seorang pun yang lebih indah daripada ungkapan al-Ashma’i.” Tetapi, walaupun ia seorang ulama yang berkaliber pada masanya, ia tak luput dari kesalahan.
Alkisah, al-Ashma’i sedang mengajar santri-santrinya di halaqah membahas hudud potong tangan bagi pencuri. Maka dikutiplah ayat al-Qur’an yang berkenaan dengan hudud.
“Wassariqu wassariqotu faqtha’u aidiyahuma jazaan bima kasaban nakalan-minaallah. Wallahu ghafurun-rahiim…” (al-Maidah:38)
Di tengah-tengah jamaah yang sedang fokus mendengarkan penejelasan al-Ashma’i. Tiba-tiba ada seorang pak tua yang mengacungkan tangannya mengalihkan perhatian seluruh pasang mata hadirin. “Wahai Tuan, kalam siapa yang engkau baca?” tanya pak tua. “Kalamullah!” jawab al-Ashma’i seperlunya. “Maaf sebelumya, yang engkau baca itu bukan lah Kalamullah,” tegas pak tua.
Ucapan Pak Tua barusan membuat seisi masjid terbakar esmosi karena ulamanya disalah-salahkan. Berbagai umpatan dialamatkan kepada pak tua. Akan tetapi al-Ashma’i segera menghentikan kegaduhan dengan bertanya kepada Pak Tua.
“Wahai Pak Tua, apakah engkau hafal al Quran?”
“Tidak.”
“Baik, surah al-Maidah hafal ‘kah?’
“Tidak.”
“Lalu, bagaimana engkau dengan yakin bilang kalau ayat yang saya baca tadi bukanlah ayat al-Quran?”
Suara kegaduhan di dalam masjid semakin menjadi-jadi, dan hampir saja Pak Tua dipersekusi masa kalau saja al-Ashma’i tidak menenangkan jamaahnya.
“Tolong, ambilkan mushaf untukku!” perintahnya kepada santrinya.
Setelah mushaf dibawakan kepada al Ashma’i, ia membuka ayat tersebut, niat hati ingin membuktikan kepada Pak Tua bahwa ia tidak salah dalam mengutip ayat.
“Dengarkan, wahai Pak Tua, Wassaariqu wassaariqotu faqtha’uu aidiyahumaa jazaa’an bimaa kasaban nakaalan-minallaah…”
“Tetapi engkau salah pada akhir ayat, wahai Tuan, yang benar adalah Wallaahu ‘aziizun hakiim, bukan Wallaahu ghafuurun rahiim seperti yang engkau baca tadi.”
“Astaghfirullah, engkau benar, wahai Pak Tua, aku salah. Padahal engkau bukanlah seseorang yang hafal al Quran, bagaimana engkau bisa mengerti, wahai Pak Tua?”
“Wahai Tuan, itu lah Allah, al-Hakim. Rahasia di balik itu adalah jika engkau sebagai hakim tegaslah, kemudian jatuhi hukum, baru dipotong tangannya. Kalau diampuni dahulu dan dikasihi, ya nggak jadi dipotong itu tangan si pencuri. Wallaahu ‘aziizun hakiim, bukan wallaahu ghafuurun rahiim.”
Mendengar jawaban dari pak tua, hadirin yang sedari tadi tegang uratnya dari ujung kaki hingga ujung kepala, seketika ngowoh dibuatnya. Air muka yang awalnya merah padam berubah kelam tertunduk malu. Begitupun juga dengan Imam al-Ashma’i. Halaqah yang mestinya adem oleh nasihat-nasihat sang Imam berubah menjadi panggung muhasabah massal.
Itulah pentingnya mengulang-ulang ilmu yang telah dipelajari. Sebab ‘afaatul ‘ilmi an-nisyaan, cobaannya ilmu adalah lupa. Perilaku ini dicontohkan oleh kiai-kiai pesantren yang selalu muthala’ah kitab sebelum mengajar santri-santri, di samping bukti rendah hati juga untuk menghindari kesalahan dalam penyampaian. Berbeda dengan para ustadz-ustadz medsos yang allahumma ujaran-ujarannya. Herannya lagi, yang begitu pun banyak juga pengikut fanatiknya.
Kisah ini pernah dimuat di https://afkarian.id/al-ashmai-dan-halaqah-mawas-diri/
Add Comment