Mulanya kopi hadir di tanah Ethiopia pada abad ke 13. Namun yang pertama membudidayakan kopi ialah penduduk Yaman penganut tarekat Syadziliyah pada abad 15 yang memperolehnya dari para penggembala yang disebut Kaldi di Ethiopia. Kemudian dengan cepat menyebar ke seluruh belahan bumi, mulai dari India, Prancis, Amerika hingga angkringan-angkringan kecil tepi jalan di Indonesia. Ada yang mengatakan persebaran kopi ini diperankan oleh majelis-majelis tarekat sufi yang ada di berbagai negara. Istilah yang mereka gunakan untuk menyebut kopi adalah khamr al-shalihin.
Kopi dalam bahasa Arab sekarang dikenal dengan qahwah. Sebelum itu penduduk asli Ethiopia menyebutnya bun. Istilah qahwah sendiri bersinonim dengan kata khamr yang menjadi nama bagi minuman apa saja yang memabukkan (lih. Mu’jam al-Wasith). Lalu diserap menjadi cofee, cafe dan kopi. Di sinilah kontroversi dunia perkopian muncul. Minuman khas para sufi itu kemudian diharamkan oleh fatwa-fatwa ulama fikih karena dianggap minuman, memabukkan yang dapat merusak akal dan tubuh.
Perdebatan sengit ini terjadi selama dua abad pada masa kekuasaan Turki Utsmani. Jamak sekali fatwa-fatwa keharaman kopi dikeluarkan ulama fikih waktu itu. Namun hal itu tidak membuat Syaikh Jamaluddin al-Dzabhani, salah seorang guru tarekat di Yaman melarang murid-muridnya mengonsumsi kopi. Ia tetap menganjurkan para muridnya untuk membikin kopi sebagai teman begadang dzikir hingga terbitnya matahari.
Dari tanah asalnya, Yaman, kopi juga menyebar dengan cepat ke Makkah, secepat perdebatan yang muncul setelah kopi masuk kota Makkah. Hingga pada akhirnya otoritas di sana menetapkan keharaman kopi pada tahun 1511 M dan berakhir pada tahun 1523 M. Hal serupa juga diterapkan di Mesir. Terutama para mahasiswa Al-Azhar.
Dari berbagai fatwa keharaman kopi tersebut, belum ada yang menandingi fatwa Sultan Murad IV, pada abad 17 yang menjatuhkan hukuman penggal kepala bagi siapa pun yang meminum kopi dengan alasan kopi sebagai sumber kegaduhan dan tindakan menyimpang.
Jadi ketika Anda sedang menikmati kopi bersama kawan, atau berkencan dengan doi, atau cuma sekadar begadang sendirian dan ngopi, maka ingatlah bagaimana para orang-orang dulu dipenggal kepala mereka, bukan karena dosa besar yang mereka lakukan, bukan pula tindakan kriminial, melainkan hanya karena sesruput kopi. Maka bersyukurlah dan rayakan dengan sekali sruputan lagi!
Perdebatan kopi terus berlanjut meski fatwa-fatwa dikeluarkan, bahkan yang seekstrem Sultan Murad IV. Muncullah ulama-ulama yang membolehkan kopi seperti Syaikh Abu Bakr al-Makkiy dengan risalahnya berjudul Itsar al-Nakhwah bi Hukm al-Qahwah. Lalu di Damaskus ada Syaikh Abu al-Fath al-Makki yang disebut-sebut oleh para sejarawan sebagai orang yang memiliki andil besar terhadap kehalalan kopi.
Lalu ada al-Qadhi Muhammad bin Iyas yang melakukan penelitian langsung di rumahnya sebelum mengeluarkan fatwa, dengan mengundang para tetangganya ke rumah dan menyuguhkan mereka secangkir kopi. Setelah seluruh tamu dipersilakan minum kopi, al-Qadhi Iyad membuka diskusi tentang permasalahan seputar fikih untuk menguji kefokusan mereka. Ternyata tak ada satupun di antara mereka mabuk, semua tetap fokus. Setelah teruji tak ada yang galfok (gagal fokus), barulah al-Qadhi ibn Iyas mengeluarkan fatwa bahwa hukum mengonsumsi kopi adalah halal.
Punya usut, bukan sebab illat yang dikandung kopi yang menyebabkan keharamannya. Namun para pengkaji menemukan unsur politik di balik keharaman kopi. Karena dulu di kedai-kedai kopi, orang-orang berkumpul berdiskusi dan bertukar pikiran tentang berbagai isu yang muncul. Mulai sosial, ekonomi, politik hingga kemanusiaan kala itu. Dari kedai-kedai kopi lah pemikir-pemikir besar muncul dan menuangkan pemikiran-pemikirannya. Sebutlah Naguib Mahfouz, Voltaire, Mahmoud Darwish dan lain sebagainya. Bahkan Voltaire menghabiskan kopi sebanyak empat puluh cangkir dalam sehari. Tapi, kedai kopi sekarang, saya lihat… ah, jangan, nanti malah ghibah. Kan, lagi puasa.
Ada cerita menarik dalam artikel Sejarah Singkat Kopi: antara Konservatisme dan Kenikmatan yang ditulis Kholili Kholil dan dimuat di alif.id. Ia mengutip salah satu tulisan edisi Reader’s Digest terbitan 1980, “Raja Gustav III dari Swedia memiliki keyakinan bahwa kopi adalah minuman beracun..” Untuk membuktikan teorinya, ia menghukum seorang napi dengan mewajibkannya meminum kopi setiap hari hingga ia mati. Sebagai pembanding, Gustav III menyuruh napi pembunuh lain meminum teh. Dua dokter ditunjuk untuk mengawasi siapa yang akan mati lebih dahulu. Dan ternyata kedua dokter itu mati lebih dulu. Dan Gustav III juga mati dibunuh pada 1792. Selang beberapa tahun, salah satu napi pembunuh itu mati, dan napi yang mati itu ternyata adalah peminum teh.
Selamat ngopi. Eh, selamat berpuasa!
Add Comment