Kata sholat berasal dari kata bahasa arab yaitu as-sholat dari segi bahasa berarti do’a,[1] kemudian secara istilah Ulama ahli fiqih mengartikan:
- Sholat secara lahiriyah adalah ucapan dan perbuatan yang dimulai dengan takbir dan diakhiri dengan salam sesuai syarat-syarat yang telah ditentukan.
- Sholat secara haqiqi adalah berhadapan hati (jiwa) kepada Allah, dengan mendatangkan takut serta menumbuhkan daidalam jiwa rasa kebesaranNya.[2]
Dalam al-Quran, banyak sekali ayat ayat yang membahas tentang sholat, diantaranya yaitu:
al-A’raf :170, Fathir :29, Maryam :31, Thaha :14,132, al-Isra :78, al-A’la :15, Hud :114, al-Hijr :98, Luqman :17, Ibrahim :31, 37, 40, an-Nisa :43, 101-103, 162, ar-Ra’d :22, al-Ankabut :45, al-Baqarah :45, 110, 177, 238, al-Bayyinah :5, al-Hajj :77, an-Nur :56, al-Fath :29, al-Maidah :6, 12.
Kemudian dari beberapa ayat yang telah disebutkan di atas, penulis mengambil satu ayat yang akan dibahas yaitu: al-Baqarah 43.
وَأَقِيمُوا۟ ٱلصَّلَوٰةَ وَءَاتُوا۟ ٱلزَّكَوٰةَ وَٱرْكَعُوا۟ مَعَ ٱلرَّٰكِعِينَ
“Dan dirikanlah sholat, tunaikanlah zakat, dan ruku’lah bersama orang orang yang ruku’.”
Dari ayat di atas terdapat kata yang harus digaris bawahi adalah kata Aqimu, kenapa tidak menggunakan kata ‘amilu atau fa’alu? Berikut penjelasan dari penulis.
Kata aqimu berarti dirikanlah sedangkan amilu dan fa’alu berarti lakukanlah. Kata kata tersebut memiliki indikasi yang berbeda beda. Kata ‘amilu dan fa’alu yang berarti lakukanlah sholat.
Menurut perkataan Prof. Nasruddin Baidan, dosen besar IAIN Surakarta menyebutkan bahwasanya kata tersebut hanya dapat dimaksani dengan sholat yang sebatas formaltas, atau bisa disebut senam religi, tanpa menghadirkan Allah dihati mushollin. Sedangkan sebaliknya kata aqimu sholat dimaknai mendirikan sholat bukan hanya sekedar melakukan sebagai formalitas, tetapi melakukan dengan hafal bacaan disertai meresapi maknanya secara khusus’. Dengan meresapi bacaan bacaan dari sholat tadi, otomatis saat sholat ke’ada`an mushollin seperti menghadap kepada Allah atau dapat menhadirkan Allah di hatinya.
[1] M. Ibn Qasim al-Ghazi, Fathul Qarib, (Pustaka Alawiyah, Semarang) hlm.11
[2] H. Sulaiman Rasjid, Fiqh Islam, (sinar Baru Algesindo), hlm. 53
Add Comment