Menurut pengamatan Prof. Dr. H.A. Mukti Ali, salah satu ciri masyarakat Islam modern di Indonesia adalah berdirinya berbagai organisasi Islam di antaranya Syarikat Dagang Islam (1909), Syarikat Islam (1911), Muhammadiyah (1912) Nahdlalatul Ulama (1926), dan Thawalib (1918).
Organisasi-organisasi Islam mempunyai proyek besar di Indomesia dan yang paling besar adalah dua proyek : pertama pembentukan dan penyempurnaan tauhid, dan kedua mencapai kemerdekaan. Setelah tercapainya kemerdekan ada sesuatu yang menarik untuk dikaji dan diteliti lebih lanjut serta diperjuangkan yaitu penyempurnaan tauhid yang telah dirancang sejak awal abad ke-20.
Pada fasenya ada sebuah pergulatan dan korelasi dengan pergumulan pemikiran keagamaan dan keislaman di Tanah Air, terutama ketika arus globalisasi dan budaya semakin deras memasuki wilayah pemikiran transendental dan fundamental di gubuk NU. Pada generasi sekarang perlu untuk menelaah ulang, menguji kembali tantangan, peluang, dan hambatan yang dihadapi oleh organisasi NU. Karena sebagai organisasi yang hidup, wawasan pemikiran dan keagamaan pasti mengalami perubahan di berbagai area budaya, sosial-politik, keagamaan dan instansi-instansi di Indonesia.
Kemudian tren keilmuan di era digital (kontemporer) ilmu agama dan masa depan keilmuan agama, NU perlu mengupayakan dan terus menyunting yang terintegrasi-interkoneksi dengan disiplin keilmuan yang lain. Korelasi keilmuan agama untuk berinteraksi dan berdialog dengan sains, keilmuan sosial, dan humaniora. Jika NU hanya mencukupkan dengan ilmu-ilmu keislaman dan cabang keilmuan tanpa tersentuh dengan keilmuan lain, tanpa bersentuhan dan bantuan ilmu yang lain maka NU tidak akan punya masa depan yang dapat diharapkan.
Karena tren keilmuan masa depan adalah integrasi-interkoneksi keilmuan tanpa menghilangkan tradisi Ulama NU dan budaya pesantren ngaji ala NU. Karena memasuki era digital ini dan globalisasi yang paling terkena pengaruhnya secara langsung adalah kehidupan keagamaan, tidak jarang isu spiritual keagamaan mulai digemari oleh generasi muda yang sudah mulai terkena ekses perubahan sosial dan budaya hedonistik-materialistik.
Oleh karena itu, pemikiran keagamaan NU perlu lebih serius ditekuni oleh warga NU. NU tidak boleh lepas tangan dari problem modernitas yang berkolerasi dengan kehidupan spiritualitas keagamaan. Berdirinya NU memang dimotori oleh semangat keagamaan, tetapi yang dari itu adalah merespon problem modernitas. Banyak corak pemikiran keagamaan kontemporer yang muncul kepermukaan, sebut saja diantaranya adalah modernisme, fundamentalisme, Mahdiisme, dan tradisionalisme. Tiap-tiap pemikiran keagamaan tersebut saling mencermati dan mengkritisi, dan respons keagamaan yang bersifat pluralistik-majemuk terhadap modernitas lah yang perlu dicermati oleh warga NU.
Satu catatan yang sangat signifikan serta perlu digarisbawahi di sini adalah semua warga NU dan umat Islam Indonesia pada umumnya siap menjawab tantangan era globalisasi (era digital) dan budaya. Pergulatan ini, ketika pagar-pagar dan cagar-cagar budaya serta agama konvensional akan diterobos dan dilompati begitu saja lewat temuan-temuan ilmu pengetahuan dan teknologi informasi (media sosial), persoalan-persoalan kegamaan baru, maka tentu perlu membangun ijtihad baru. Menurut penulis hal demikian merupakan konsekuensi logis bagi keberadaan warga NU yang sejak awal berdirinya bersikap kritis terhadap bentuk historisitas keagamaan dan pemikiran yang terjadi saat itu.
Add Comment