Oleh: Dianti Aula Haifa Hanna
Laa, laa tanqadii, anta lirruhi dawaa
Ramadann, ramadann, ramadanu yaa habibb
Ramadann, ramadann, laitaka dauman qarib
Ketika sebuah benda teleskop milik lembaga para ahli falakiyah berhasil menangkap hilal di ufuk barat, kemudian kementrian Agama pun telah sepakat untuk mengetuk palu, sudah dipastikan bahwa ramadan bukan lagi sekadar angan-angan yang dinantikan kedatangannya, melainkan sudah tersaji di hadapan diri tiap-tiap manusia. Umat manusia yang mengaku dirinya sebagai masyarakat muslim pastilah bersuka cita menyambut tamu agung bernama ramadan, sebuah waktu khusus yang disuguhkan Allah kepada para hamba untuk meningkatkan kualitas spiritual mereka. Ramadan yang menjadi salah satu dari beberapa bulan yang diagungkan ini memiliki keutamaan di dalamnya, yang tidak dimiliki bulan agung lainnya. Seperti hadis yang sering disampaikan para muballig hingga menjadi sangat masyhur di kalangan masyarakat;
من فرح بدخول رمضان حرم الله جسده على النيران
Artinya; “siapa yang gembira dengan datangnya bulan ramadan maka Allah akan mengharamkan jasadnya dari api neraka”.
Terlepas hadis ini shahih atau tidaknya, namun seorang peneliti hadits mengatakan bahwa hadits ini adalah maudhu’ atau (la asla lahu / la yu’raf lahu asl). Dikarenakan, perawi hadits ini tidak ditemukan dalam kitab-kitab hadis yang muktabar.
Selain itu, adanya perintah melaksanakan puasa menjadi sebuah keistimewaan tersendiri yang dimiliki bulan ramadan. Dalam qur’an surah al baqarah ayat 183,
ياأيّها الّذين آمنوا كتب عليكم الصّيام كما كتب على الّذين من قبلكم لعلّكم تتّقون
Artinya: “ Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu, agar mereka bertaqwa.
Ayat ini menjadi sebuah penegasan, sehingga menjadi wajib hukumnya untuk melaksanakan puasa di bulan ramadan bagi orang-orang yang beriman.Juga adanya malam lailatul qadar(malam seribu bulan) di sepuluh hari terakhir bulan ramadan yang begitu diidam-idamkan oleh masyarakat muslim. Menurut Prof. Quraish shihab seorang mufassir terkemuka yang pernah menjabat sebagai Menteri Agama ini mengatakan bahwa, kata “laila” bermakna malam sedangkan kata al-Qadr memiliki 3 makna..
Pertama, kata al-Qadr bermakna malam mulia, karena di malam lailatul Qadar itu banyak sekali kemuliaan-kemuliaan yang terjadi, salah satunya adalah turunya al-Qur’an.
Kedua, kata al-Qadr bermakna ketentuan atau ketetapan, Malam dimana Allah menentukan perjalanan hidup seseorang.
Ketiga, kata al-Qadr bermakna sempit, karena pada saat itulah para malaikat silih bergantian turun, jadi seakan-akan bumi ini sempit.
Keutamaan-keutamaan yang terdapat di bulan ramadan ini menjadikan masyarakat muslim sangat antusias dalammenyambut datangnya sang bulan suci penuh berkah, segala bentuk hal dan kegiatan yang mengandung nilai positif sering dikalkulasikan akan mendapatkan pahala jika diniatkan ibadah. (Mungkin, tidur min thulu’il fajri ila ghurubis syamsi, juga akan mendapatkan pahala jika diniatkan ibadah. hehe).
Namun ada yang berbeda pada ramadan tahun ini, jika sebelumnya,masyarakat muslim menjalankan ritual peribadatan di bulan ramadan dengan segala sesuatu yang sudah menjadi sebuah kultur dan dilakukan secara berjamaah, tapi tidak dengan ramadan tahun ini. Ramadan kali ini manusia dilatih untuk lebih bersabar, dan benar-benar mengaplikasikan kata shaum(menahan diri),jadi bukan lagi sekadar menahan lapar dan haus, namun lebih kepada menahan diri untuk tidak berkumpul, dan mengadakan suatu perkumpulan yang di dalamnya melibatkan banyak orang, seperti; buka bersama, ngabuburit dan bahkan salat tarawih berjamaah di Surau.
Dalam diri tiap-tiap manusia yang mengaku muslim, tentunya mereka menginginkan nuansa ramadan tanpa ruang gerak yang dibatasi, menjalankan ibadah seperti biasanya, melihat anak-anak kecil berlarian di serambi masjid setelah salat tarawih dilaksanakan, ngabuburit mencari takjil untuk berbuka, melakukan I’tikaf di Surau pada sepuluh hari terakhir ramadan, ataupun hal lainnya, meskipun ada beberapa pemerintah desa yang memperbolehkan warganya untuk tetap melaksanakan salat tarawih dengan syarat merenggangkan jarak pada tiap-tiap jamaah yang mengikutinya, Hal ini, seyogianya dipatuhi oleh masyarakat yang mengikuti jamaah,sebagai bentuk physical distancing di masa pandemi.
Social distancing yang diterapkan oleh pemerintah ini menjadi sebuah kebijakan dan juga langkah panjang untuk memutuskan mata rantai penyebaran virus corona yang terus merebak begitu cepat sehingga merenggut ribuan nyawa. Di masa pandemi ini, keinginan-keinginan yang bersifat sekunder dan itu tidak menjadi sebuah kebutuhan yang bersifat primer, baiknya ditunda untuk beberapa waktu ke depan hingga virus corona tidak lagi memiliki ruang untuk berkembang di tengah kehidupan manusia.
Kemunculan virus corona di tengah kehidupan manusia, sesungguhnya memberikan sebuah tamparan keras untuk satu sisi yang hilang dalam diri manusia, yang mungkin telah tertimbun oleh sikap individualis, yangkemudiandibiarkan mengakar hingga ubun-ubun. Sisi yang hilang itu disebut-sebut dengan altruisme.Dengan adanya virus corona ini memberikan pelajaran berarti untuk manusia agar bisa lebih memanusiakan manusia lainnya, dan menekan kecenderungan egoisme dalam diri manusia itu sendiri. Selain akal budi, setiap manusia terlahir dengan memiliki emosi naluriah yang membawanya untuk mewujudkan kebaikan bagi manusia lain, sebagaimana ia mencintai kebaikan untuk dirinya sendiri. Emosi naluriah inilah yang menjadi sumber bagi manusia untuk mengetahui kebaikan individu dan sosial. Seperti yang ditegaskan oleh Hutcheson bahwa “sesuatu yang bersifat primordial pada manusia adalah sensasi batiniyah yang mampu mengetahui keindahan perbuatan utama dan kejelekan perbuatan tercela”.
Dalam eksistensinya sebagai manusia, ia diberikan kemampuan untuk memilih, dan kemampuan memilih ini mengandung suatu esensi tanggung jawab, yang bukan bersifat individual. Karena pada saat memilih, manusia tidak memilih untuk dirinya sendiri melainkan untuk orang lain juga.Dan sifat hakiki seorang manusia adalah bahwa selain sebagai makhluk individu juga sekaligus sebagai makhluk sosial. Jadi, kelahiran seorang manusia di dunia itu tidak terlahir hanya untuk memikirkan dirinya sendiri tetapi juga memikirkan makhluk lain yang berada di sekitarnya.Dan ini sesuai dengan apa yang diungkapkan oleh Sartre dalam bukunya Existentialism; The Philosophy of Human: “jika kita mengatakan bahwa manusia bertanggung jawab atas dirinya, maka yang dimaksud bukanlah tanggung jawab atas diri pribadinya semata, tapi juga bagi seluruh manusia. Jika dikatakan bahwa manusia (bebas) memilih perbuatannya sendiri, maka yang dimaksud bukanlah untuk dirinya semata, melainkan bagi seluruh manusia. Maka tanggung jawab kita pada hakikatnya jauh lebih besar dari gambaran semula, karena tanggung jawab itu bukan hanya untuk “kita” atau “kami”, tetapi bagi kemanusiaan. Karena itu, pada dasarnya kita bertanggung jawab pada pribadi sendiri dan juga orang lain”.
Ketika manusia memilih untuk tetap berada di rumah saja pada masa pandemi berlangsung, berarti ia sudah menunjukan hilangnya kecenderungan egoisme dalam dirinya, dengan mengedapankan sikap altruisme untuk kemaslahatan umat di dunia.
Add Comment