Cerpen

Sarung dan Peci di Pelosok Negeri (Cerpen)

Hari itu, setelah perkuliahan selesai, Aruna berniat untuk langsung pulang ke rumah. Namun, ketika di tengah perjalanan, tiba-tiba terjadi kecelakaan di jalan yang biasa dilaluinya. Kemudian Aruna diarahkan melalui jalan setapak yang hanya bisa dilalui satu mobil saja.

“Arrghhh. Di mana, sih, ini? Sial!” umpatnya.

“Halo, Bi. Suruh Pak Sapto atau siapa ke sini ya.  Jangan lama-lama,” kata Aruna kepada Bi Inung sambil kesal.

“Emm.. anu, Non, Pak Sapto lagi disuruh bapak ndak tau kemana. Pak Gio lagi ngambil belanjaan di pasar, Non. Paling nunggu Pak Guno. Pak Guno tadi habis ke kantornya Bapak,” jelas Bi Inung.

“Aduh, Bi. Ini aku nyasar di gang sempit.  Nggak tau di mana. Nanti suruh Pak Guno ke sini.”

“Ee–” belum selesai Bi Inung berbicara, teleponnya sudah ditutup karena Aruna kesal. Ia akhirnya melanjutkan perjalanannya menggunakan google maps. Namun, kali ini ia belum beruntung. Ia justru salah jalan dan tidak bisa pulang ke rumah hari itu juga. Ia justru harus berputar arah, namun hari sudah mulai petang, dan Aruna mulai kelelahan lalu menepi sejenak untuk merenggangkan kaki dan tangannya yang sudah pegal.

“Mbak, tolong mobilnya sedikit dipinggirkan, nggih. Ini jalan masuk ke pesantren,” kata seorang laki-laki separuh baya dengan ramah.

“Jalan apa, Pak? Perasaan saya parkir di tempat ya..” ucapnya terpotong.

“Itu, Mbak, ada plang kayu tolong dibaca,” kata seorang pemuda sambil berjalan.

“Pesantren Al-Firdaus? Mana pesantrennya? Kok nggak ada gedungnya?” tanya Aruna.

“Iya, Mbak. Kami memang tidak memiliki gedung. Tapi kami punya banyak santri di sini,” kata Pak Kyai setelah keluar dari musala.

“ Mari, Mbak, silakan mampir dulu. Istirahat saja di pondok ini. Mbak pasti terlalu lelah sampai tidur di  dalam mobil,” kata Pak Kyai dengan halus.

‘Ting’ bunyi ponselnya, sebuah pesan masuk dari supirnya yang sedang mencari Aruna melalui bantuan Google Maps.

Non, ini kok tulisannya unknown location? Saya udah muter-muter begini kok ndak ketemu. Non menginap saja dulu, besok saya jemput,’ sebuah balasan dari supirnya.

Aruna semakin kesal membaca pesan yang dikirimkan sopirnya. Lalu ia berpikir apa yang harus ia lakukan. Setelah mengamati sekelilingnya. Karena di sekitarnya hanya ada suara jangkrik, pepohonan dan lentera dari pondok pesantren itu, ia menjadi takut. Dengan sangat terpaksa, Aruna akhirnya masuk dan meminta bantuan Pak Kyai dari pondok tersebut. Namun semalaman ia tidak bisa tidur. Keesokan harinya, ia diantar menuju jalan raya yang mengarah ke kota.

Sejak hari itu, ia menjadi kepikiran dengan pondok pesantren. Bagaimana bisa tempat sekecil dan kumuh itu dihuni ratusan orang, dan semua pertanyaan-pertanyaan itu berenang di kepalanya. Lalu beberapa hari kemudian Aruna memutuskan untuk kembali ke pondok tersebut karena penasaran.

***

Sore itu, Aruna berjalan-jalan di sekitaran pondok pesantren. Ia berjalan dan tak sengaja, sampai pada sebuah sungai. Namun tiba-tiba Aruna mendengar suara seperti jepretan kamera yang terdengar agak kencang. Lalu diamati sekelilingnya, ternyata suara itu berasal dari seorang pemuda. Lalu Aruna mengamati pemuda itu.  Ternyata dia orang yang mengantarkannya kemarin.

“Eh, Mbak. Kok di sini?” tanya pemuda itu.

“Iya, tadi cuma jalan-jalan aja,” jawab Aruna.

“Itu, Mas bawa kamera? Buat apa?” tanya Aruna penasaran.

“Ini, saya lagi cari-cari foto sama inspirasi buat tulisan blog saya. Kenapa, Mbak? Kamera sama handphone saya jelek ya? Hehe. Ini hasil nabung saya, Mbak. Lumayan lah bisa dimanfaatkan dengan baik,” kata pemuda itu sambil tersenyum.

“Emm, enggak, kok. Maaf sudah sore, saya duluan, ya… Udah mau magrib juga,” pamit Aruna.

Sambil menuju ke pondok, Aruna berpikir tentang seorang pemuda sederhana tetapi luar biasa. Pemuda itu sangat baik dan produktif, ia bisa memanfaatkan sesautu dengan maksimal. Berbeda dengannya, semua fasilitas terpenuhi, namun ia tidak dapat memaksimalkan fungsinya dengan baik.

***

Sejak saat itu, Aruna mulai berkomunikasi dengan pemuda itu.

“Kelihatannya tulisanmu sangat bagus, kemudian hasil editannya pun sangat detail. Kamu belajar dari mana seperti ini?” tanya Aruna.

“Saya otodidak, Mbak. Tujuan saya awalnya hanya iseng-iseng saja. Tapi melihat peluang yang ada, saya jadi ingin memanfaatkan media sosial untuk menyebarkan ilmu dan membuat pondok pesantren ini berkembang. Mengingat ini kawasan yang terpencil, sulit bagi saya untuk mengembangkan pondok ini. Santrinya pun hanya dari daerah sekitar. Mereka belajar di sini, karena ini satu-satunya pondok terdekat. Untuk menempuh ilmu di kota, sulit bagi mereka karena… ya biasa lah, ekonomi,” jelas pemuda itu.

“Terus?” tanya Aruna penasaran.

“Ya jadinya gini, Mbak. Pondok ini masih sulit untuk berkembang. Makanya, saya belajar seperti ini salah satunya agar pondok ini lebih berkembang,” jawab pemuda itu.

Keesokan harinya, Aruna mengambil laptop, kamera, Hp, bahkan LCD di rumahnya dan membawanya ke pondok.

“Mbak, ini apa to? Sepertinya barangnya sangat mahal?” tanya pemuda itu.

“Oh iya, ayo bikin tim jurnalistik saja. Ajak saja beberapa santri yang memiliki potensi untuk dikembangkan. Mari bangun pesantren ini bersama-sam,” ajak Aruna dengan begitu antusias.

“Ide bagus, Mbak. Sebentar saya panggil beberapa santri lagi,” jawab pemuda itu.

“Ini semua, silakan dimanfaatkan untuk pengembangan pondok ini. Ini barang-barang lama saya, jika masih kurang InsyaAllah akan saya fasilitasi nanti,” jawab Aruna.

“Jangan, Mbak. Barang ini terlalu mahal. Kami takut rusak dan tidak dapat menggantinya,” kata salah seorang santri.

“Tidak, ini sudah jadi milik kalian. Saya juga masih punya. Tenang saja. Saya yakin, kalian dapat memanfaatkan benda-benda ini dengan sangat baik. Tidak seperti saya, yang tidak pandai memanfaatkan media. Jika butuh buku atau apapun, bilang saja. Saya siap membantu,” tegas Aruna.

Sejak saat itu, para pemuda mulai berdiskusi mengenai isu-isu di sekitar, dan banyak menghasilkan karya tulis. Mereka mulai menggeluti bidang karya tulis.

“Bagaimana jika sesekali kita ikut lomba? Kita bisa mengangkat problematika tentang daerah sini, dan memikirkan bagaimana solusinya. Nanti saya ajukan tulisan-tulisan kita ke berbagai event kampus, dan juga lembaga pemerintah. Saya dengar kemarin ada event karya tulis ilmiah tingkat nasional,” usul Aruna.

“Setuju. InsyaAllah,” jawab mereka serantak.

Sejak saat itu, mereka semakin giat dalam membuat karya tulis. Tidak hanya melaui blog, mereka mulai mengikuti berbagai kompetisi, dan juga mengirimkan naskah-naskah ke berbagai penerbit. Hingga pada akhirnya, ada sebuah karya tulis yang berhasil mendapat juara satu. Tulisan tersebut sudah dibaca dan dibagikan sebanyak ribuan kali. Bahkan tulisan itu banyak dimuat di media massa. Tulisan itu berisi mengenai problematika santri di pelosok negeri.

Tulisan itu menimbulkan banyak respon, bahkan Aruna  dan para santri diundang untuk menjadi pembicara dalam acara seminar kampus. Karena keberhasilan dan kontribusi Aruna pihak kampus justru memberi penghargaan Aruna dan meluluskannya. Hasil dari karya tulis itu digunakan sebagai pengganti tugas akhirnya. Aruna lulus dengan gelar cumlaude, dan pondok pesantren dapat berkembang sangat baik karena banyak orang bersedia menjadi donatur untuk pengembangan Pondok Pesantren Al-Firdaus. Dan setelah kelulusanya Aruna baru mengetahui jika pemuda yang sering diajak berdiskusi dengannya adalah putra dari Kyai pengasuh pondok pesantren tersebut.

Oleh: Syafrida Reza Aulia

About the author

Redaksi PP Al-Fattah

Redaksi PP Al-Fattah

Website dikelola oleh tim redaksi Pondok Pesantren Al-Fattah

Add Comment

Click here to post a comment

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.